BatakPedia.org – Saya sengaja memilih sore hari pergi ke Lapo Siagian Boru Tobing. Terutama bagi para penikmat kuliner Batak akan mafhum kalau lapo di Senayan ini pasti bakal ramai dan riuh saat jam makan siang. Benar saja, sewaktu tiba di sana, lapo sudah tenang dan kosong. Hanya ada satu pelanggan bernama Adi. Di sebelahnya Paulus Siagian, anak lelaki Arifin Siagian, pendiri lapo Siagian Boru Tobing di Jakarta. Lapo ini pertama kali berdiri di Jalan Asia-Afrika pada 1984. Lalu pindah ke Senayan sejak 1991. Sore itu kami mengobrol gayeng. Terutama soal makanan khas lapo. Lapo Siagian Boru Tobing masih mengandalkan tangan Arifin. Setiap pagi, Arifin mengolah beragam bumbu untuk aneka macam masakan. Ia pula yang memarinasi daging babi untuk menu panggang.
“Di kultur Batak, lelaki biasanya bisa memasak. Tak haram masuk dapur,” kata Paulus.
Di meja kasir, tak jauh dari pintu masuk, duduk Hasni Boru Siagian. Perempuan 70 tahun ini istri Arifin. Meski berusia lanjut, ia ogah diam di rumah. Ia masih tetap di dapur. Memasak ikan arsik andalannya. Juga menemani para tamu mengobrol.
Sekitar pukul 4 sore, seorang perempuan datang sendirian. Sudah langganan tetap. Hasni mengajaknya ngobrol sejenak.
“Tambah cantik aja kau.”
“Ah ibu bisa aja. Ibu juga makin cantik nih.”
Perempuan berambut pendek itu lantas memesan ayam gota, salah satu masakan yang kerap ditemui di lapo. Ayam gato direbus bersama bumbu-bumbu dan darah ayam. Masakan ini berlimpah rempah. Paling tidak ada 10 jenis rempah yang dipakai. Dari bawang merah, bawang putih, cabai rawit, kemiri, ketumbar, hingga yang tak boleh ketinggalan: andaliman.
Masakan di Lapo Siagian Boru Tobing ini khas Toba. Lapo Toba atau Tapanuli biasanya punya menu yang nyaris serupa, hanya berbeda resep. Mirip dengan restoran Padang yang punya beragam resep andalan, tapi jenisnya sama. Makanan yang paling umum ditemui di lapo adalah panggang, saksang, arsik, dan ayam gota.
Panggang, seperti namanya, adalah babi yang dipanggang sebelum disajikan. Dimarinasi dengan beragam jenis bumbu, didiamkan hingga 3 jam agar bumbu meresap. Barulah dipotong-potong dalam ukuran sekali makan. Lalu dipanggang saat dipesan. Sedangkan saksang adalah masakan khas Batak Toba yang direbus dengan pelbagai bumbu. Dagingnya bisa macam-macam. Daging babi, anjing, atau kerbau, meski yang paling sering adalah daging babi. Saat direbus, ia ditambahkan darah daging yang dipakai.
Sedangkan arsik adalah masakan dari kawasan Tapanuli. Masakan ini memakai ikan mas sebagai tulang punggung. Dan yang unik, sisiknya tidak dibuang. Cara masaknya, ujar Hasni, gampang. Tapi memang banyak bumbu. Setidaknya harus ada bawang merah, bawang putih, kemiri, jahe, kunyit, cabai, lengkuas, kecombrang, serai, dan tentu saja andaliman.
Sebagai salah satu masakan paling populer di warungnya, Hasni selalu memasak arsik dalam jumlah besar. Setiap hari, biasanya 20 kilogram ikan mas ludes. Kalau ramai, bisa sampai 30 kilogram. Alat andalan Hasni adalah wajan besar yang bisa menampung potongan 20 kilogram ikan mas sekali masak.
“Bumbu-bumbu semua dihaluskan. Lalu dibalur ke ikan. Lalu ditumpuk. Ditutup dulu sebentar. Kalau sudah ada uapnya, kita goyang sebentar. Disiram kuahnya dari atas ke bawah,” kata Hasni.
“Tidak diaduk kah?”
“Ya jangan! Ancur lah dia kalau diaduk.” Hasni tertawa.
Waktu memasaknya cukup singkat, hanya 15 menit. Tapi kuncinya, kata Hasni, harus pakai api besar. Tungku harus bisa memancarkan api kencang, mirip tungku penjual nasi goreng.
Sedangkan untuk kondimen, yang selalu ada di lapo adalah sambal. Di Siagian Boru Tobing, ada dua jenis sambal. Yang pertama adalah sambal hijau. Ia memakai cabai hijau, bawang merah, bawang putih, kemiri, jeruk nipis, dan andaliman. Elemen jeruk nipis membawa rasa asam yang segar. Sedangkan andaliman menyodok ke hidung, menghadirkan sensasi getir di lidah.
“Cobain ini deh, sambal rias,” kata Paulus.
Saya mencobanya. Rasanya lebih gurih, tapi juga tak pedas. Saya merasakan ada andaliman karena karakternya yang khas agak susah disamarkan. Namun karena kurang yakin, saya coba bertanya.
“Ini pakai andaliman kan?”
“Iya, tapi tidak begitu banyak.”
“Soalnya kerasa sodokan di hidung,” kata saya.
“Iya, kayak apa sih sensasinya. Miyabi, miyabi, apa gitu,” ujar Paulus mencoba menerka.
“Wasabi, kali,” kata Adi menimpali. “Miyabi mah kesukaan elu.”
Rias adalah nama lain dari kecombrang. Selain rias, orang Batak juga menyebut kecombrang sebagai kincung. Kecombrang termasuk rempah kunci di banyak masakan Batak. Serupa dengan andaliman (Zanthoxylum acanthopodium). Bentuknya mirip merica. Karena paling banyak dipakai di masakan Batak, andaliman kerap dijuluki sebagai merica Batak.
Di Jakarta, andaliman tak mudah dicari. Biasanya para pedagang lapo membelinya di Pasar Senen. Ada pula di Mayestik, di sebuah lapak milik pedagang Batak. Beberapa orang juga menyebut nama Pasar Tebet sebagai salah satu tempat mencari rempah andalan ini.
Andaliman pada masakan Batak ibarat nyawa dalam badan. Kalau tanpa andaliman, banyak masakan Batak kehilangan ruh. Bahkan, kata Adi, lidahnya sudah hafal kalau ada sambal yang disajikan tanpa andaliman. Rasanya ada yang kurang.
Andaliman juga bisa menghilangkan bau amis pada babi. Harga andaliman termasuk mahal. Kalau sedang murah berkisar Rp50 ribu hingga Rp70 ribu per kilogram. Kalau normal, biasa di kisaran Rp100 ribu hingga Rp120 ribu.
“Nah kalau menjelang Natal dan tahun baru, wah harganya bisa sampai Rp300 ribu per kilo, bro,” kata Paulus geleng-geleng.
Lapo di Jakarta sedikit-banyak berbeda dengan lapo yang digambarkan oleh Julia Byl dalam bukunya, Antiphonal Histories: Resonant Pasts in the Toba Batak Musical Present (2014). Di Jakarta, lapo lebih berfungsi sebagai tempat makan. Bukan tempat nongkrong. Karena itu, pengunjungnya lebih egaliter. Tak pandang jenis kelamin. Sedangkan di Medan, lapo biasanya dipakai untuk nongkrong, minum tuak, main kartu, dan tentu saja bernyanyi bersama. Bahkan, tulis Julia, tak jarang ada ribut-ribut yang berujung pada perkelahian.
“Karena itu di Medan, amat jarang ada perempuan di lapo. Aktivitas di lapo biasanya dianggap tidak pantas untuk dilakukan perempuan,” tulis Julia.
Di Jakarta berbeda. Pelanggan lapo tidak sekadar orang Batak. Melainkan dari berbagai suku, dan tak dibatasi kelamin. Lagi-lagi, karena lapo di Jakarta lebih bersifat sebagai tempat makan, jarang ada orang yang nongkrong hingga berjam-jam. Di Senayan, yang notabene satu lingkungan dengan gedung DPR, para pedagang lapo jelas berusaha keras menjaga keamanan dan kenyamanan. Apalagi ada banyak anggota DPR yang makan di sana.
“Kalau ada tuak, lalu ada orang mabuk, dikhawatirkan akan mengganggu tamu lain. Jadi sejak di Senayan ini kami tak jual tuak lagi,” kata Paulus.
Di Senayan kini ada tiga lapo. Selain Siagian Boru Tobing, yang terkenal adalah Ni Tondongta. Mereka sudah ada sejak 1980. Kini mereka mempunyai 12 cabang. Lapo lain adalah Dainang, yang punya tiga cabang: Siantar, Medan, dan Jakarta.
Menariknya, meski punya beberapa cabang, rasa masakannya nyaris sama. Apalagi jika menganut model seperti Siagian Boru Tobing. Di sana, semua bumbu dimasak oleh Arifin. Baru kemudian didistribusikan ke cabang-cabang. Bumbu itu yang lantas dipakai para juru masak di masing-masing cabang. Tentu saja, rasa masakan tak akan pernah benar-benar sama karena tergantung tangan pengolahnya. Tapi secara garis besar, rasanya tak akan menyimpang dari resep asli.
“Yang bisa sama cuma KFC dan McD saja,” kata Paulus sembari tertawa. (tirto)