Batakpedia.org -Kanibalisme adalah fenomena makhluk hidup pemakan makhluk hidup lain yang sejenis. Misalnya, anjing makan anjing, seragala makan serigala, harimau makan harimau. Tetapi, menjadi sangat menyeramkan jika manusia memakan manusia.
Secara etimologis, kata “kanibal” merupakan kata pungutan dari Bahasa Belanda yang pada gilirannya memungut dari Bahasa Spanyol; “canibal” yang berarti orang dari Karibia. Di daerah ini oleh penj(el)ajah ditemukan fenomena manusia makan manusia.
Ritual kanibalisme Selain di Karibia, di Amerika hal ini pada zaman dahulu kala banyak terjadi pula, misalnya di antara suku Anasazi, Bangsa Maya dan Aztek. Selain itu di Asia-Pasifik, kanibalisme juga pernah ditemukan. Ada satu suku di Papua Nugini, yaitu suku Fore juga pernah terjadi kanibalisme ini.
Bagamana di Indonesia? Di Indonesia dalam berbagai literatur, jika kita buka google, dan video invo, misalnya dikatakan secara jelas kalau suku seperti suku Batak di Sumatera Utara, suku Dayak di Kalimantan, suku Asmat di Papua, Suku Fiji dan daerah Melanesia, dalam masa lampau, mungkin ribuan tahun lalu, pernah terjadi manusia makan manusia ini alias kanibalisme.
Dan bukan tidak mungkin di zaman dulu, entah berapa ribu tahun lalu, di banyak suku di Nusantara ini terjadi kanibalisme itu. Di Flores, misalnya, berdasarkan cerita, di zaman dulu terjadi manusia makan manusia, tetapi setelah manusia itu diproses secara ritual ‘ilmu gaib” atau magik –mengubah manusia menjadi sejenis hewan; kambing atau babi (celeng) baru dipotong kemudian dagingnya dimasak seperti memasak daging hewan baru dimakan.
Cerita terakhir ini, entah benar atau salah, namanya juga cerita. Tetapi, cerita ini hanya mau menunjukkan bahwa bukan hanya beberapa suku Batak, Dayak atau Papua yang dulunya terjadi fenomena itu, tetapi juga kemungkinan ada suku lain juga.
Percaya atau tidak, untuk kita zaman ini kalau mendengar cerita itu. Mungkin kita yang dari suku Batak, suku Dayak, suku Papua atau suku lainnya marah atau malu kalau dikatakan bahwa nenek moyang di zaman yang dulu sekali, entah berapa ribu tahun lalu, pernah makan manusia.
Mungkin juga di zaman dulu sekali, semua suku di Nusantara atau juga di dunia terjadi fenomena itu. Jelas siapa tahu, iya kan? Sehingga, sebenarnya kita tidak perlu malu dengan pernah terjadinya fenonema itu.
Bukankah sampai hari ini kita juga masih saling memakan, bukan memakan secara fisik, seperti yang dimaksukan dengan fenomena kanibal, tetapi saling membunuh dan memangsa satu sama lain dalam aneka macam cara dan bentuk?
Kalau kita, termasuk editor yang pernah tinggal di daerah Batak beberapa tahun, pernah juga terdengar selentingan cerita dari orang-orang tua dulu, bahwa pada zaman dahulu nya suku Batak adalah pemakan daging manusia alias kanibal. Sejenak kita menganggap “ah ini cuma cerita bohong, atau cuma nakut-nakuti saja”.
Benarkah cerita itu ? Mari kita telusuri beberapa kesaksian dari para tokoh masa lalu ini.
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi dengan baik di kalangan orang Batak, yang bertujuan untuk memperkuat tondi (jiwa) si pemakan daging manusia tersebut. Secara khusus, darah, jantung, telapak tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai kaya tondi.
Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi di pesisir timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai “pemakan manusia”. Dari sumber-sumber sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di antara masyarakat “Battas”. Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual tersebut.
Niccolò Da Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak: “Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang terus-menerus kepada tetangga mereka “.
Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan bahwa: “Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu seorang penjahat akan dimakan hidup-hidup, daging dimakan mentah atau dipanggang, dengan kapur, garam dan sedikit nasi”.
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut “Battaer”). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang penduduknya sangat ramah. Makanan yang ditawarkan oleh tuan rumahnya ternyata adalah daging dari dua tahanan yang telah disembelih sehari sebelumnya.
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup. Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan.
Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852, dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu bahwa: “Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus, tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan, telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan malam publik besar “.
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali mereka. Rumor kanibalisme Batak bertahan hingga awal abad ke-20, dan nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut telah jarang dilakukan sejak tahun 1816.
Tulisan ini, sebenarnya –benar-benar maaf- tidak bermaksud untuk menjelekkan suku tertentu di Indonesia saat ini, tetapi sekadar untuk melihat sejauh mana perkembangan manusia di Indonesia, yaitu nenek moyang kita di zaman dulu, bagaimana mereka menjalankan kehidupan sehari-hari, bagaimana mereka menempatkan sesama manusia dalam kehidupannya.
Bukan tidak mungkin aksi memakan manusia di zaman dulu sebagai simbol kemenangan, simbol keperkasaan di antara orang atau suku atau manusia lain. Karena bukan tidak mungkin di zaman dulu, terus menerus terjadi peperangan atau satu suku dengan suku lain, dan manusia ditempatkan sebagai serigala bagi yang lain, seperti dikatakan filsuf Thomas Hobbes, homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi yang lain.