Batakpedia.org– Orang-orang Batak mengembara ke perantauan, mereka membuat jejak berupa kampung, gereja, dan lapo di Jakarta.
Jejeran lapo memanjang dari mulut jalan Kampung Mayasari, Cililitan, Jakarta Timur. Menjelang sore, lapo-lapo ini makin ramai pembeli. Di salah satu sudut di antara jejeran pedagang itu, Lapo Siangkaan paling sesak dijejali pembeli. Hampir semua meja terisi. Selain lapo tersebut, ada dua lapo lagi yang paling tua di kampung itu: Lapo Sinar Medan dan Lapo Tiga Serangkai.
Menu masing-masing lapo tak beda jauh. Mereka menjual olahan makanan khas Batak. B1, B2 panggang, Saksang, dan Ikan Mas Arsik. Menu ini terpajang di papan lapo.
Kampung Mayasari dikenal salah satu permukiman rantau orang-orang Batak di Jakarta. Nama kampung ini diambil dari bekas terminal bus Mayasari Bhakti, tepat di seberang perkampungan menuju Jalan Mayjen Sutoyo, Cililitan. Selain terdapat banyak lapo, juga bediri gereja Hurian Kristen Batak Protestan. Jarak gereja saling berdekatan. Ada sekitar sepuluh gereja orang Batak di kampung Mayasari.
Selain Kampung Mayasari, pemukiman orang Batak tersebar di beberapa tempat di Jakarta, seperti di Pulomas (Pulo Gadung), Peninggaran (Kebayoran Lama), Jalan Pramuka (Utan Kayu), Senen, hingga Bekasi.
“Dari tahun 70-an sudah ramai di sini,” ujar Kurnia Saragih yang sejak 1975 mendiami Kampung Mayasari. “Kalau di Pulomas sekarang tinggal sedikit,” tambahnya kepada saya.
Suasana Sumatera Utara di kampung ini terlalu kentara. Selain lapo, ada juga kedai-kedai kopi milik orang Batak. Saban siang, kedai-kedai ini disesaki pembeli. Salah satunya kedai kopi Mercy milik orang Karo.
Sejak siang, meja-meja kedai ini penuh pembeli. Menjelang sore, suasana semakin ramai. Para pembeli bahkan harus duduk di bangku pinggir jalan. Kebanyakan orang Batak yang tinggal di Kampung Mayasari serta para jemaat dari gereja etnis Batak.
Ara Perangin-angin, tokoh masyarakat Kampung Mayasari, berseloroh kepada saya bahwa “di mana ada lapo, di situlah orang-orang Batak berkumpul.”
Saragih menimpali, “Karena kita orang perantauan, lain marga pun kita anggap saudara, sama sebetulnya seperti suku-suku lain.”
Di Kampung Mayasari, setidaknya ada 400 kepala keluarga berdarah Batak menetap dan tinggal di delapan rukun tetangga. Mereka berasal dari Batak Toba, Karo, Pakpak, Mandailing, Simalungun, dan Angkola.
Bahkan kata Ara Perangin-angin, saking banyak orang Batak di Kampung Mayasari, mahasiwa Universitas Kristen Indonesia dari Sumatera Utara juga banyak yang kemudian indekos di sini. “Memang dikenal tempatnya orang Batak dan kulinernya orang Medan,” kata Ara.
Orang Batak dan Kekerabatan di Perantauan
Apa yang dikatakan Saragih mengenai kekerabatan orang Batak di perantauan menggambarkan sejarah migrasi dan diaspora salah satu etnis terbesar di Indonesia. Kekerabatan orang Batak bukan hanya hubungan pertalian sedarah lewat pertalian marga atau perkawinan, tapi juga bersemi lantaran ada hubungan kuat satu daerah.
Laste Castle dalam “The Ethnic Profile of Djakarta” (Indonesia, April 1967) menjelaskan bagaimana orang-orang Batak memiliki kekerabatan yang kuat dan kemudian migrasi ke Batavia. Mereka beramai-ramai dan menumpang di rumah-rumah keluarga Batak yang sudah terlebih dulu tinggal di Jakarta.
Melalui surat kabar mingguan Surat Keliling Immanuel yang diterbitkan di Lagobuti, sebuah wilayah administratif di Toba Samosir, O.H.S. Purba dalam Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara (1998) menulis bagaimana seorang Batak bernama F. Harahap pada 1917 menjadi sponsor perdana kedatangan orang Batak ke Batavia.
Harahap adalah guru dan ia menjadikan kediamannya di kawasan Sawah Besar—kini masuk dalam administrasi Jakarta Pusat—menampung orang-orang Batak yang akan mengadu nasib ke Batavia.
“Siapa saja dari antara bapak dan ibu yang akan memberangkatkan anaknya ke Batavia, untuk melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan, agar lebih jelas datanglah ke alamat saya: F. Harahap, tinggal di perbatasan Sawah besar dan Kebun jeruk, No.18, Batavia,” tulis pengumuman Harahap dalam Surat Keliling Immanuel.
Purba menulis, orang Batak yang pertama menginjakkan kaki di Jakarta adalah Simon Hasibuan. Simon ialah tamatan Seminari Pansurnapitu Tarutung, pusat Huria Kristen Batak Protestan tempat seminari tersebut didirikan pada 1877 oleh misionaris Peter Hinrich Johansen yang menemani Ingwer Ludwig Nommensen menyebarkan misi Protestan di Tanah Batak. Hasibuan tiba pada 1907 dan sejak itu gelombang migrasi orang Batak ke Jakarta semakin banyak.
Orang Batak, menurut Castle mengutip “Permulaan dan Perkembangan H.K.B.P.” (S. K. Bonar, Seratus Tahun Kekristenan dalam Sedjarah Rakjat Batak; 1961), datang ke Jakarta pada 1907. Pada sensus etnis tahun 1930, jumlah orang Batak di Batavia sekitar 1.300 orang. Ia terus bertambah setelah revolusi kemerdekaan. Pada sensus 1961, sensus perdana sejak Indonesia merdeka, orang Batak di Djakarta tercatat ada 28.900 orang.
Menurut Castle, migrasi orang Batak keluar dari kampung halamannya terjadi sejak 1930 dan paling besar pada 1945-1949. Awalnya mereka merantau ke pesisir Sumatera kemudian menjadikan Jakarta sebagai tempat perantauan.
Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia (2011) menulis migrasi besar-besaran orang Sumatera Utara ke Jakarta terus mengalami perkembangan pesat selama 20 tahun terakhir dari 1970 hingga 1990, merujuk tiga sensus Badan Pusat Statistik: 1888.326 orang pada 1971, 417.659 orang (1980), dan 770.093 orang (1990). Dari angka terakhir, 200.00 orang di Jakarta dan 116.000 orang di Jawa Barat.
“Artinya,” tulis Reid, “orang Sumatera Utara (sebagian besar orang Batak dari pelbagai marga) merupakan etnis ketiga terbesar di ibukota setelah orang Jawa dan orang Sunda.”
Survei Reid pada 1995 di Karo dan Toba menunjukkan arus migrasi orang Batak “sedemikian cepat sehingga mencapai titik hampir semua anak muda meninggalkan desa ketika berusia belasan tahun, dengan sebagian kecil kembali ke kampung setelah menikah untuk merawat orangtua.”
Bila riset Clark E. Cunningham pada 1958 hampir semuanya menuju dataran rendah Sumatera Timur, sekarang migran Batak menuju Jakarta, Bandung, dan kawasan industri baru Batam dekat Singapura, demikian Reid.
Awal Terbentuk Komunitas Orang Batak
Edward M. Bruner, dalam “Megalit, Migration and The Segmented Self” (1981), menulis: “Ke mana saja orang Batak pergi, mereka selalu membawa gerejanya.” Apa yang dikatakan Bruner merujuk pada kehidupan sosial orang Batak di perantauan. Seperti di Jakarta, misalnya, paling gampang mencari orang Batak di gereja, lapo, atau terminal.
Dan kecenderungan itu memunculkan sebuah pameo dalam bahasa Batak: ‘Molo adong dua halak Batak munsat tu luat na imbaru, pintor mulai do nasida marminggu; Molo adang tolu halak Batak munsat tu luat na imbaru, pintor dimulai do sada koor’. Artinya: Bila ada dua orang Batak yang pindah ke suatu tempat yang baru, dengan segera mereka akan membangun peribadatan; dan bila ada tiga orang Batak pindah ke tempat baru, dengan segera mereka akan membentuk kelompok paduan suara.
Di Jakarta, juga di pelbagai daerah di luar Sumatera Utara, tersebar gereja Huria Kristen Batak Protestan, sebuah organisasi keagamaan terbesar ketiga di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dan gereja Protestan terbesar di Asia Tenggara. Pengikut HKBP, menurut Hans J. Hillerbrand dalam The Encylopedia of Protestanism Vol. I (2004), sekitar 3,5 juta jemaat di lebih dari 3.000 gereja lokal di seluruh Indonesia. Di Jakarta, salah satu gereja HKBP tertua adalah HKBP Kernolong di Jalan Kramat IV, Senen, yang berdiri pada 1919.
Sebagaimana sebuah pameo orang Batak dengan gerejanya, kini di Kampung Mayasari berdiri pula sejumlah gereja orang Batak—baik Protestan maupun Katolik (yang minoritas)—seiring terbentuk perkampungan mayoritas etnis Batak. Menurut Kurnia Saragih, tokoh Kampung Mayasari, sejak 1970-an orang-orang Batak dari pelbagai golongan mulai berdatangan dan menempati daerah ini termasuk dirinya.
“Dulu di sini belum ada listrik. Jalan juga becek. Kalau habis hujan, saya sekolah pakai sepatu dengan dibungkus kantong plastik,” kenang Saragih kepada saya.
Lambat laun, Kampung Mayasari terus berkembang dan dihuni kebanyakan orang Batak dengan pelbagai latar belakang pekerjaan. Orang-orang ini membawa tradisi dan kebiasaan, sebagaimana kebanyakan etnis lain, termasuk pada makanan sehingga bermunculan pula warung-warung lapo.
Seiring laju migrasi dan kerapatan penduduk dari pelbagai kelompok etnis lain di Indonesia, orang Batak di Mayasari juga berpindah ke tempat lain. Ia mengubah demografi sosial, ekonomi, dan politik kawasan. Ini satu hal yang lazim sebagaimana orang-orang tua mereka melakukannya nyaris seabad lalu. Pada 2010, misalnya, jumlah etnis Batak di Jakarta sekitar 326.645 orang.
“Seiring waktu,” ujar Saragih, “banyak yang kemudian pindah ke beberapa tempat, salah satunya Bekasi.” (hitabatak)