Batakpedia.org – Peralihan kekuasaan di Indonesia dari Belanda kepada Jepang pada 1942 memberikan pengalaman berharga bagi Ferdinand Lumban Tobing. F.L. Tobing, demikian namanya kerap ditulis, menyaksikan sendiri kekejaman Dai Nippon terhadap orang-orang Indonesia.
Dari sanlah aksi-aksi perlawanannya muncul. Tidak heran jika nantinya orang Batak ini dijadikan target pembunuhan tentara Jepang.
F.L. Tobing masih berdinas sebagai dokter ketika Jepang datang. Sejak 1935 ia sudah bertugas di Sibolga, ibukota Karesidenan Tapanuli, yang kebetulan kampung halamannya sendiri. F.L. Tobing dilahirkan di Sibuluan, salah satu desa di Sibolga, tanggal 19 Februari 1899 (Gubernur Sumatera dan Para Gubernur Sumatera Utara, 2006:57).
FL Tobing sempat pula bertugas di Padang Sidempuan, Surabaya, Tenggarong, juga Batavia. Ia adalah lulusan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA, kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), sekolah kedokteran bumiputera di Batavia, dan sempat bekerja di Central Burgelijke Ziekenhuis (CBZ) atau yang sekarang menjadi Rumah Sakit Tjipto Mangoenkoesoemo, Jakarta.
Menjadi Target Pembunuhan
F.L. Tobing barangkali mengira kedatangan Jepang akan mendatangkan perubahan yang baik. Ternyata tidak. Jepang rupanya bisa sangat kejam bahkan dibandingkan era kolonial Hindia Belanda yang pernah dialaminya. Tak lama setelah Dai Nippon datang, F.L. Tobing ditugaskan sebagai dokter pengawas kesehatan bagi romusha, kaum pribumi yang dipekerjakan paksa, termasuk membangun benteng di Teluk Sibolga.
Ia melihat sendiri penderitaan saudara-saudara setanah-airnya dipaksa bekerja untuk kepentingan penjajah. Belum lagi perlakuan kejam tentara Jepang. F.L. Tobing kerap mendapati para pekerja yang badannya hanya tinggal menyisakan kulit pembalut tulang saja, dan terus diperlakukan sewenang-wenang (Nana Nurliana, Dr. Ferdinand Lumban Tobing, 1983:28).
Dokter-Batak ini tidak tahan berlama-lama melihat kondisi tersebut. Ia pun memberanikan diri mengajukan protes kepada petinggi Jepang yang berwenang di situ. Tak hanya sekali-dua kali F.L. Tobing bersuara keras setiap melihat tindak kekejian serdadu Jepang terhadap para pekerja. Namun ia tidak pernah digubris.
Pihak Jepang lama-kelamaan terusik juga dengan F.L. Tobing yang terus saja berisik. Namun mereka tidak bisa menindaknya secara terang-terangan mengingat ia berstatus tenaga medis. Maka itu, Jepang memasukkan namanya ke dalam daftar target orang yang wajib dihabisi, kendati tidak akan dilakukan dengan cara frontal (Arya Ajisaka & Anna Maria, Mengenal Pahlawan Indonesia, 2008:61).
Nasib mujur rupanya masih menaungi F.L. Tobing. Ketika Jepang sedang mencari-cari cara yang paling tepat untuk membunuhnya, sang dokter justru berperan sebagai penyelamat. Suatu kali, ada perwira polisi Jepang yang mengalami kecelakaan mobil, kondisinya amat parah. F.L. Tobing lantas menawarkan diri untuk merawat si korban yang tengah berjuang lolos dari maut itu.
Di bawah penanganan F.L. Tobing, keadaan polisi itu mulai membaik, bahkan berangsur-angsur pulih. Hal itu membuat sikap orang-orang Jepang yang semula membenci, bahkan berniat membunuhnya, berbalik hormat kepada F.L. Tobing. Mereka pun berterima kasih.
Atas jasanya itu, ia ditunjuk menjadi Ketua Syu Sangi Kai –semacam Dewan Perwakilan Daerah (DPD)– untuk Karesidenan Tapanuli pada November 1943 (Album Pahlawan Bangsa, 2001:29). Bahkan, ia kemudian diangkat sebagai anggota Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat), bersama tokoh-tokoh lokal terkemuka macam Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Ki Bagus Hadikusumo, dan lainnya.
Pahlawan Batak Kristen Taat
Akhir tahun 1944, ketika sinyal kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya semakin terlihat seiring menguatnya Sekutu, Gunseikan selaku kepala pemerintahan militer tertinggi Dai Nippon di Indonesia, mengundang tokoh-tokoh penting dari kalangan orang Indonesia untuk menghadiri pesta kebun di Bukittinggi, Sumatera Barat. Acara ini digelar untuk memikat hati para tokoh-tokoh pribumi.
Mereka yang diundang adalah orang-orang berpengaruh, baik tokoh masyarakat maupun agama, juga pejabat lokal. F.L. Tobing termasuk di dalamnya. Pembagian hadiah, semacam lotere atau door prize, menjadi acara puncak dalam pesta kebun itu. F.L. Tobing ternyata beruntung, ia dapat hadiah berupa sarung.
Ferdinand Lumban Tobing (FL Tobing) adalah orang Batak kedua yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI setelah Sisingamangaraja XII.
Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka, tokoh Islam yang turut hadir, sampai terheran-heran melihat F.L.Tobing sangat bahagia menerima hadiah sarung yang kerap diidentikkan sebagai perlengkapan ibadah untuk muslim itu. Hamka tahu betul kalau dokter Batak itu adalah penganut Kristen taat.
“Dr. Ferdinand Lumban Tobing dapat kain pelikat. Memang, meskipun dia seorang Kristen, simbolnya ialah sarung. Hatinya tetap Indonesia dan Batak sehingga tetap dicintai orang di Tapanuli, walaupun (oleh) rakyat yang beragama Islam,” gumam tokoh Islam yang kelak menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini (Hamka, Kenang-kenangan Hidup, 1974:175).
Sepaham dengan Hamka, Deliar Noor (1987:234) dalam buku Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 juga menyebut F.L. Tobing sebagai Kristen yang sangat taat. Ia juga satu-satunya orang Nasrani di Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 2004:282). Di periode 1953-1955 itu, ia menjabat sebagai Menteri Kesehatan, sesuai keahliannya di bidang kedokteran.
Wakil Nasrani di Kabinet
Usai Jepang hengkang pada 1945, karier politik F.L. Tobing memang kian mantap. Dari Syu Sangi Kai dan Chuo Sangi In, ia diangkat sebagai Residen Tapanuli pertama setelah Indonesia merdeka, selanjutnya menjadi Gubernur Militer Tapanuli/Sumatera Utara hingga Januari 1950 atau setelah penyerahan kedaulatan Indonesia dari Belanda secara penuh.
Setelah itu, anak Sibolga yang turut mengangkat senjata melawan Belanda selama masa Revolusi Fisik ini mulai menatap karier politik ke tingkat nasional. Selain Menteri Kesehatan, F.L. Tobing juga pernah mengisi posisi sebagai Menteri Penerangan (30 Juli 1953 hingga 12 Agustus 1955), serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (9 April 1957 sampai 10 Juli 1959).
Meski pamornya tidak sementereng para pendiri republik lainnya, namun nama F.L. Tobing sangat bermakna bagi masyarakat Batak. Ia orang Batak kedua yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI setelah Sisingamangaraja XII, Raja Negeri Toba yang melegenda itu.
Presiden Sukarno menetapkan Sisingamangaraja XII (1849-1907) sebagai pahlawan nasional pada 9 November 1961, sementara F.L. Tobing memperoleh gelar serupa kurang lebih setahun kemudian, tepatnya tanggal 17 November 1962.
Tanggal 7 Oktober 1962, hari ini tepat 55 tahun silam, Ferdinand Lumban Tobing wafat di Jakarta dalam usia 63 tahun. Jasadnya dimakamkan di Desa Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara, dan namanya, F.L. Tobing, diabadikan sebagai nama bandar udara di Pinangsori, Tapanuli Tengah.
F.L. Tobing adalah seorang Batak tulen, Kristen pula, namun teramat dicintai oleh segenap rakyat Sumatera Utara yang pernah merasakan kepemimpinannya, termasuk umat Islam di dalamnya, persis seperti kesan yang pernah digumamkan oleh sang ulama besar, Buya Hamka. [tirto]