Batakpedia.org-Alkisah, ada sebuah kerajaan di daerah Simalungun. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Rakyatnya hidup makmur. Raja itu memiliki seorang putri yang luar biasa cantiknya. Kecantikannya bahkan terkenal sampai ke negeri seberang. Sayangnya, sang Putri memiliki sifat yang jelek. Ia suka mengucapkan kata-kata buruk. Orang mengebutnya putri yang latah.Jika ada kejadian yang tidak mengenangkan hatinya, ia dengan mudahnya berkata buruk. “Aih… air sungai Iebih enak rasanya dari teh buatanmu ini,” katanya suatu hari pada salah seorang dayang istana.“Lebih baik jadi orang buta daripada harus memandangi wajahmu yang cemberut terus,” katanya lagi di lain hari. Raja dan Ratu selalu mengingatkannya agar berhenti mengucapkan kata-kata buruk. Mereka takut, jika suatu saat ucapan Putri itu menjadi kenyataan. “Bagaimana jika kau benar-benar buta nanti?” tanya Ratu cemas. Putri tak peduli. Dari hari ke hari, perkataan buruknya bertambah banyak.
Suatu hari, datanglah raja muda dari negeri seberang. Rupanya raja muda itu telah mendengar tentang kecantikan sang Putri. Kebetulan ia sedang mencari wanita untuk dijadikan permaisuri. “Jika Baginda mengizinkan, saya ingin melamar putri Baginda,” kata raja muda itu.“Tentu aku setuju. Dengan menikahnya kalian berdua, kekuatan kita akan semakin besar. Rakyat kita semakin banyak. Aku akan segera memberitahu putriku,” jawab Raja.
Setelah semuanya disetujui, akhirnya diputuskan bahwa pesta pernikahan akan dilaksanakan bulan depan. Raja ingin mengadakan pesta besar, apalagi Putri adalah anak satu-satunya.
Putri amat bahagia dengan lamaran Raja muda itu. Apalagi ia juga berparas tampan. Putri bertambah rajin merawat dirinya, supaga ia bertambah cantik di hari pernikahan nanti.
Tiap hari, ia rajin mandi di danau kecil di belakang istana. la juga mencampur air mandinya dengan bermacam-macam bunga gang harum. KuIitnya yang halus pun digosok dengan lembut. Ia benar-benar tak ingin ada cacat sekecil apa pun di tubuhnya.
Suatu hari, seperti biasa, Putri mandi di danau. Sambil menggosok-gosok tubuhnya, ia bersenandung kecil. “Lalala… lilili… senangnya hati ini…”, demikian senandungnya.
Tiba-tiba, seekor burung melintas di atas kepalanya. Ia sangat terkejut, dan langsung menengadah. Ternyata burung itu mematuk hidungnya. Putri tak sempat menghindar, darah berceceran dari hidungnya. “Aduhh… hidungku!” ia menjerit sambil memegang hidungnya yang berdarah, Putri pun menangis.
“Bagaimana ini, Bi Inang? Hidungku ini pasti cacat. Semuanya gara-gara burung nakal itu,” kata Putri pada inangnya. Putri terus tersedu-sedu. Ia kecewa karena tak bisa menjaga kecantikannya. “Mana mau raja muda itu menikahi wanita dengan hidung begini?” isaknya. Bi Inang mengelus- elus rambutnya. “Jangan khawatir, Putri. Jika raja muda memang mencintai Putri, luka kecil ini pasti tak jadi masalah,” katanya menghibur.
“Luka kecil? Ini bukan luka kecil Bi!” teriak Putri dengan marah.
Akhirnya Putri memutuskan untuk pulang ke istana dan menunjukkan lukanya pada ibunya. “Tenang Nak, ini hanya luka biasa. Nanti setelah diobati oleh tabib istana, luka ini pasti akan kering,” hibur Ratu.
“Tapi aku malu, Bu. Luka ini pasti akan membekas dan berwarna hitam. Raja muda pasti membenciku,” jawab Putri. Setelah terdiam sejenak, tiba-tiba Putri berkata, “Mungkin lebih enak jadi ular. Kulitnya tebal dan bersisik. Luka sedikit pasti tak akan kelihatan.”
Sebelum Ratu sempat menjawab, tiba-tiba langit menjadi gelap dan petir menyambar-nyambar. Ratu dan Putri ketakutan. Mereka saling berpelukan. “Ya ampun, anakku, apa yang terjadi padamu?” teriak Ratu panik. Ratu segera melepaskan pelukannya. Yang tampak di hadapannya bukan lagi putrinya yang cantik, tapi seekor ular besar dengan kulit hitam kehijauan. Kulit ular itu sangat kasar dan penuh sisik, persis seperti yang diharapkan sang Putri.
Ratu tak percaya melihat melihat kenyataan itu. Tapi setelah melihat sorot mata ular itu, yakinlah ia bahwa ular itu memang putrinya. Ratu menangis. Ia menyesali perkataan putrinya yang diucapkan secara sembrono.
“Anakku, bukankah sudah berulang kali Ibu ingatkan agar menjaga ucapanmu?” isaknya sedih. Ular itu tak bisa menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya sambil mendesis. Namun, matanya menitikkan air mata. Tanda bahwa ia amat menyesal. “Maafkan aku, Ibu. Aku telah mengecewakan Ibu dan Ayah,” kata ular itu dalam hati.
Nasi sudah jadi bubur. Waktu tak dapat diputar lagi. Semua persiapan untuk pernikahan pun sia-sia. Raja juga tak mampu berbuat apa-apa. Akhirnya, putri yang berubah jadi ular itu tinggal di halaman belakang istana. Ia lebih senang tinggal di alam bebas.
Bi Inang dan para dayang tetap menjaganya dengan baik. Sekarang mereka memanggilnya “Putri Ular”.
Pesan Moral
Pesan dari Cerita Rakyat Sumatera Utara : Legenda Putri Ular untukmu adalah Jangan mudah mengeluarkan perkataan yang buruk dan menyesali keadaanmu. Apa pun yang terjadi pada dirimu, itu pastilah yang terbaik bagimu. (gpswisataindonesia)