Batakpedia.org –“Parung Simardagul-dagul…Sahali Mamarung, gok apanggok bahul-bahul. ”
Itu merupakan senandung warga adat Batak Parlilitan, sebelum penyadapan getah kemenyan di Tanah Batak, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara.
Senandung dilakukan dua kali, berarti sekali menyadap atau sekali menusuk pohon kemenyan, hasil lebih dan banyak. Bakul bawan dari kampung penuh berisi sadapan getah kemenyan.
Belum lama lama ini, masyarakat adat Parlilitan, menyadap getah kemenyan. Dian Haposan Sihotang, warga adat Parlilitan juga petani kemenyan, mengatakan, senandung ini sudah tradisi.
Menyadap getah kemenyan, perlu ritual, yang bermakna menghormati dan menghargai alam. Getah kemenyan ada dan pohon tumbuh karena proses alam. Tak bisa dipupuk atau dengan cara lain.
Pengerjaan juga harus dengan hati bersih, dan adab baik. Mereka percaya, menyadap getah tak boleh berkata kotor agar getah keluar banyak dengan kualitas baik.
Menurut cerita nenek moyang, kemenyan ini jelmaan Boru Raja atau gadis anak raja. Hingga dalam menyadap harus sopan dan bersih hati.
“Kalau gak pakai ritual hasil jauh berbeda. Jika pakai ritual bisa banyak dapat karena sudah dapat restu Sang Maha Pencipta,” kata Dian.
Bagi orang Batak, katanya, ritual awal mengelola hutan kemenyan, dikenal dengan marhottas (Bahasa Batak Parlilitan).
Ritual Marhottas, sesaji ada makanan hitak gurgur terbuat dari tepung, dan daging babi. Istilahnya, namarmiyak miyak. Ia berarti harapan hasil sadap getah kemenyan bisa berlimpah dan terbekati dalam kesehatan.
Dalam ritual ini, terlihat sesajian diletakkan di depan para petani persis di sebelah sebatang kemenyan muda yang sehat. Mereka duduk bersila sambil memanjatkan doa-doa atau dikenal dengan martonggo. Panjatan doa kepada debata mulajadi nabolon, atau Sang Maha Pencipta melalui leluhur-leluhur yang selalu menemani perjalanan hidup mereka.
Sebelum acara makan bersama, kata Dian, sesajian diletakkan sejenak di dekat pohon kemenyan, selang beberapa menit barulah bisa menyantap sambil berdoa.
Setelah makan bersama, lanjut menyadap pohon. Setelah sadapan bersama, mereka bersenandung.
“Beginilah kami, warga Batak Parlilitan.”
Dian bilang, walau kemenyan sudah banyak hancur menjadi eukaliptus oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL), mereka berusaha berjuang demi kelestarian kemenyan. “Ritual akan terus dilakukan sampai kapanpun.”
Roganda Simanjuntak, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Tano Batak (AMAN Tano Batak), mengatakan, ritual dan simbol-simbol pada masyarakat Batak ini, harus tetap terjaga dengan alasan apapun. Semua pihak, terutama negara punyawajib menjaga dan melindungi.
Kemenangan masyarakat adat di Mahkamah Konstitusi, katanya, yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, harus dipatuhi siapapun.
“Kemenyan sangat istimewa, getah pertama kali ada di Tano Batak, ekspor ke seluruh dunia,” katanya.
Kemenyan jenis tumbuhan yang perlu pohon pelindung. Ia tak bisa tumbuh sendiri. Tak heran, kala berada di hutan kemenyan, akan bertemu pohon alam besar dan rindang. Kala pohon ‘pelindung’ hancur, getah kemenyan yang terkena sinar matahari, diyakini tak akan keluar banyak.
“Itu sebabnya masyarakat Batak begitu menolak kehadiran TPL. Dahulu, negeri kita sejuk dan segar, karena ada pohon alam. Sekarang, ke pedesaan, hutan hancur hanya karena alasan ekonomi,” katanya.
Kala warga protes, katanya, perusahaan selalu berlindung di balik izin-izin keluaran Menteri Kehutanan. Setidaknya ada 188.000 hektar lahan di Tanah Batak jadi konsesi TPL. Belakangan, perusahaan berkampanye penyelamatan kemenyan.
“Itu tak benar perusahaan melestarikan kemenyan. Justru sebaliknya, sejak kehadiran perusahaan, hutan kemenyan makin terkempung. Perlahan hancur berganti eukaliptus,” ujar dia.
Dia mengatakan, pemerintah sudah melarang perusahaan menebang kemenyan dan hutan alam, tetapi diabaikan.
Temuan AMAN Tanah Batak, perusahaan menghabisi kemenyan di tanah ulayat dengan membakar, lalu berganti eukaliptus, lokasi ada di Toba Samosir (Tobasa).
Data AMAN Tanah Batak, luas hutan kemenyan terbabat TPL hampir 70.000 hektar di Tobasa, Tapanuli Utara, dan Samosir.
Di Tobasa, pada wilayah masyarakat adat Ombur, bahkan, terjadi kriminalisasi warga. Kala marah meliat kemenyan ditebang, warga mencabuti bibit eukaliptus. Perusahaan marah, melaporkan warga ke polisi dan ditahan empat hari.
Kasus lain, masyarakat adat Matio, memiliki hutan adat 1.500 hektar. Dulu, leluhur mereka sampai 1987 ada 1.000 hektar hutan kemenyan. Saat perusahaan TPL– sebelumnya Indorayon– masuk, menghabisi pohon endemic ini, terjadilah kemiskinan.
Mata pencarian masyarakat hancur. Mereka yang bertahan ada menjadi buruh tani atau merantau ke luar kampung.
“Kami membantah kalau TPL bilang melestarikan kemenyan atau disebut tanaman kehidupan. Dari temuan AMAN bertolak belakang.” (mongabay)