Batakpedia.org-Udara sangat panas di Medan siang itu. Lonjakan suhu di ibu kota Sumatera Utara membuat tubuhku basah kuyup karena keringat. Saya langsung mendekati restoran Tip Top di Jalan Ahmad Yani 92, di kawasan Kesawan, untuk menghindari terik matahari serta melepas lelah. Langit-langit tinggi, ditambah kipas bertiup dipasang di dinding corong kesejukan.
Dengan memuaskan dahaga Anda, saya memesan Es Krim Ystaart, es krim dengan potongan kue yang serupa dengan tiga lapisan warna dan rasa; stroberi, vanili, dan coklat. Di kursi rotan, saya menikmati es krim segar yang dihias dengan ceri dan rasa rum fla, merasakan kehidupan jantung Medan pada puluhan dekade hingga satu abad yang lalu.
Tip Top hadir di kawasan ini untuk menggantikan Epperlein Café, salah satu bangunan kuno yang dibuat pada tahun 1934, warisan masa penjajahan Belanda, umat beriman hidup sesuai fungsinya sejak dulu sampai sekarang, sebagai tempat untuk bersantai, berkumpul bersama. sambil menikmati makanan dan minuman. Sedangkan bangunan lainnya telah berubah fungsi, atau bahkan hancur. Sejalan dengan perubahan zaman, Tip Top membuat update pada menu.
Dulu, hidangan steak rusa sangat populer di kalangan noni dan meneer. Nah, menu itu tidak ada lagi, karena rusa adalah spesies yang dilindungi. Menurut anggota keluarga Tip Top, Didrikus Kelana, beberapa menu lama dan khas, seperti Ystaart Ice Cream, Specolaas dan Moorkop Bakery, serta steak, salad dan bitterballen yang masih disajikan dan tetap menjadi favorit di kalangan pelanggan yang semakin banyak. berbeda.
Di Kesawan, juga berdiri sejumlah bangunan kuno yang dulunya digunakan oleh masyarakat Eropa sebagai kantor. Sepanjang Jalan Ahmad Yani, ada bangunan di Jakarta Lloyd, milik pemilik Perusahaan Pelayaran Belanda, didirikan pada tahun 1880. Gedung ini juga pernah digunakan sebagai kantor Rotterdam Lloyd, perusahaan pelayaran yang dibentuk pada tahun 1875 dengan jalur pelayaran. Hindia, China, Jepang, sampai Australia.
Tepat di depan gedung ini, berdiri sebuah bangunan kuno yang megah yang didirikan Harrison & Crossfield, British Plantation Company memasukkan Daniel Harrison, Harrison Smith dan Joseph Crosfield dengan bisnis komoditas teh dan kopi. Terdiri dari lima lantai, bangunan yang juga bernama Juliana ini dilengkapi dengan lift besi buatan pada tahun 1910. Sangat terpelihara dengan baik, dan lift tetap berfungsi. Kini, bangunan ini menjadi milik PT. Pan London Sumatra, perusahaan raksasa yang bergerak di bidang produksi dan pengolahan kelapa sawit, kakao, teh dan karet, produksi lahan yang tersebar di daratan Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Bangunan arsitektural mengadopsi semangat rasionalisme yang berkembang di awal abad ke-20. Pada saat itu, sebagian besar arsitektur didasarkan pada fungsionalitas. Keagungan bangunan tersebut menggambarkan kemuliaan masa lalu kawasan industri di wilayah Sumatera Timur pada akhir 1800-an hingga sekitar pertengahan 1900-an. Menariknya, sebagai bangunan pertama di Sumat termasuk lift, gedung Harrisons & Crosfield di London, juga menggunakan desain bangunan serupa di bidang ini.
Di sebelah utara, ada gedung balai kota tua Medan, yang pada awalnya dibangun dan dirancang untuk arsitek CM Boen Javasche Bank, pada tahun 1909. Tapi ditolak Javasche Bank, dan akhirnya membeli sebuah stand Dewan Kota Medan pada tahun 1906. menara jam dan bel yang dibuat oleh van Bergen dari Belanda yang dipasang di atas bangunan itu konon merupakan sumbangan dari Tjong A Fie, pialang pedagang kaya. Javasche Bank akhirnya menunjuk arsitek Eduard Cuypers asal Amsterdam untuk membangun bangunan, tepat disampingnya. Bangunan yang selesai dibangun tahun 1909, kini menjadi Bank Indonesia.
Kedua bangunan sampai saat ini masih terpelihara dengan baik, meski mereka berdiri di belakang bangunan raksasa. Di belakang Balai Kota yang lama berdiri Hotel Aston, saat berada di belakang bangunan lama Bank Indonesia, gedung Bank of Indonesia membangun gedung baru. Arsitektur kedua bangunan baru ini sedikit lebih nampak masih memiliki komplek dengan dua bangunan sebelumnya, meski perbedaan ketinggiannya jauh tidak mencolok. Akses visual ke kedua bangunan tersebut merupakan museum yang masih memadai.
Tepat di depan gedung ini berdiri kantor pos kedua dibangun pada tahun 1909 oleh arsitek Snuyf, direktur Biro Pekerjaan Umum untuk Hindia Belanda, lalu. Seperti Tip Top Restaurant, kantor masih setia pada awal fungsinya; mengirim surat dan paket, meski keriuhan mengepung perkembangan teknologi komunikasi saat ini.
Namun kenyamanan visual saat menikmati keindahan bangunan tua kini terganggu dengan hadirnya papan reklame, spanduk, kabel listrik dan penggilingan telepon. Alih-alih mencegahnya, pemerintah daerah dan tokoh masyarakat bahkan membuat kekacauan. reklame kandidat untuk kantor legislatif, pengumuman layanan masyarakat, kram produk komersial bersama.
Estetika lanskap medan semakin mengganggu fungsi pasca transisi ruang publik menjadi kawasan bisnis, seperti yang terjadi di Lapangan Merdeka. Ladang yang dulunya berfungsi sebagai alun-alun utama, sekarang dikelilingi oleh penjual makanan di Merdeka Walk. Meski beberapa tenda vendor knock down system, namun beberapa waralaba restoran dan sejumlah toko buku bekas dibangun permanen. Cabang pohon asam (Samanea saman) berumur ratusan tahun yang menyerupai lengan raksasa dipangkas ke bangunan terdekat lolos dari patah tulang tungkai yang terserang.
Ini bertepatan dengan sebuah bumi hangus yang memangkas batang pohon trembesi selama pembangunan Aston Hotel, tepat di seberang lapangan. Meski kebanyakan pohon unggul menyerap karbon dioksida hanya jejak 20 batang dari 48 yang ditanam Belanda sekitar tahun 1880.
Sekarang kebanyakan dari mereka tidak memiliki semangat hidup seperti itu lagi setelah ‘rintisan’ ditebang tanpa pertimbangan logis. Tragisnya, dimana Bandara Singapura Changi Internasional mempertahankan pohon trembesi, kota ini sibuk menghancurkannya. Sebenarnya, di pohon Merdeka Square Trembesi yang diduga tertua di Indonesia, mungkin bahkan di Asia Tenggara.
Sangat disayangkan. Perkembangan kawasan ini seperti mobil kereta api yang berada di luar jalur rel. Padahal, saat melihat ciri khasnya, desain Freedom Square, yang dulunya disebut Esplanade, mengadopsi kota modern Eropa. Tampak semua bangunan diposisikan menghadap lapangan untuk memberi akses visual kepada penghuni dedaunan hijau dan pertemuan umum.
Kini, sejumlah masalah muncul karena menyusutnya ruang publik, dan tidak sebanding dengan perluasan kota dan pertumbuhan penduduk. Hujan singkat hujan sempat membanjiri lapangan, yang dianggap karena jaringan kabel instalasi pipa kabel yang mengganggu sistem drainase. Menambah ini, pembangunan kantor polisi di sudut lapangan, penghentian yang lebih lengkap mencoba fungsi mulia alun-alun kota.
Revitalisasi lingkungan dan bangunan bersejarah di Medan tidak berjalan sebagaimana mestinya, meski peraturan daerah telah dikeluarkan sejak 21 tahun yang lalu melalui Peraturan No.6 / 1988 tentang pelestarian lingkungan, bangunan bersejarah dan arsitektur arkeologi dan penanaman, serta UU No.5 / 1992 tentang budaya pusaka. Berdasarkan peraturan sebelumnya, ada 42 bangunan yang harus dilindungi. Sedangkan Badan Warisan Sumatera (BWS), sebuah lembaga nirlaba yang bergerak dalam pelestarian warisan, termasuk bangunan, mencatat bahwa sekitar 150 bangunan layak dilindungi lagi di luar 42 bangunan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sebagian besar bangunan milik individu, kelompok atau daerah. Termasuk Masjid Raya Medan Al-Mashun, Gereja Katolik di Jalan Pemuda, Hotel De Boer, sejumlah toko dan rumah Maimoon.
Upaya penyelamatan oleh pemerintah seperti bangunan kuno jauh dari ideal. Misalnya, proses pembongkaran Gedung di Jalan Mega Eltra Brigjend Katamso No.52-54. Bangunan yang didirikan pada tahun 1912 dengan nama Lindetevis-Stokvis itu dipecah dengan bantuan pasukan Yon Zipur I / BB. Sebuah respon pahit terhadap demonstrasi damai melawan pembongkaran gedung ini pada tahun 2002, dan akan diganti pusat perbelanjaan. Sampai saat ini, belum ada realisasi.
Di Jalan Imam Bonjol, dua bekas gedung sekolah MULO Belanda juga lenyap lenyap. Gedung Inspektorat Gubernur dihilangkan untuk mendirikan rumah sakit, dan gedung Bank Asia Tenggara mengganti bangunan baru yang dibuat dengan gaya yang agak mirip. Dan akhir-akhir ini, bangunan bekas KNI terancam oleh pembangunan sebuah apartemen yang telah menghancurkan dua bangunan personel lama.
Sementara pemilik bangunan pendukungnya suka suka atau tidak harus melestarikan bangunan untuk undang-undang perundang-undangan, bisa dikatakan. Padahal, menurut Fitri Isnen dari BWS, pemerintah berkewajiban memberikan kompensasi kepada pemilik bangunan tua, baik berupa dana maupun fasilitas penuh di sekitarnya, seperti drainase dan relief pajak properti. Sebab, ketika sebuah bangunan digolongkan sebagai warisan budaya, perkembangan nilai ekonomi akan sangat terbatas. Pariwisata bisnis adalah yang paling mungkin terjadi.
Keluarga Mayor Tjong A Fie – pengusaha keturunan Tionghoa yang berhasil dalam bisnis karet, tembakau dan teh pada awal 1900an – sudah dimulai. Sejak 18 Juni, mereka mulai menjual paket-paket besar rumah relik peninggalan Tjong A Fie di Jalan Ahmad Yani, melintasi restoran Tip Top. Sebagai percobaan, awalnya mereka hanya menargetkan kunjungan terbuka selama dua bulan. Tapi tidak sampai dua bulan, sudah ada lebih dari 3.000 pengunjung, masing-masing atau per orang untuk membayar biaya masuk sebesar Rp 35.000.
Antusiasme masyarakat untuk menunjukkan bagaimana bangunan kuno yang terjaga dengan baik, jelas memiliki daya pikat dan menguntungkan. “Sebanyak 90% dari upaya ini akan dilanjutkan. Uang tiket bisa digunakan untuk biaya perawatan di rumah,” kata Fon Prawira, panitia.
Tjong A Fie dibangun pada tahun 1895 dengan masa konstruksi lima tahun oleh seorang arsitek China. Paduan gaya Cina, Eropa dan Melayu pada arsitek bangunan ini, sebagai sosok pemilik yang konon sangat dekat dengan semua orang, suku dan ras di Medan, serta memilih wanita sebagai istrinya dengan bahasa Melayu Tionghoa yang layak.
Terdiri dari tiga bagian utama, yakni bangunan utama sekaligus bangunan di sayap kiri dibuka untuk umum, sedangkan sayap kanan bangunan diperuntukkan bagi pemilik rumah keluarga pribadi.
Momen abad terakhir yang tercatat dalam bingkai foto hitam dan putih ditampilkan di beberapa ruangan. Lukisan oleh seniman lokal saat ini, terlihat dipajang di ruangan lain. Semua dikemas rapi, sehingga saat pengunjung memasuki ruangan bisa sekilas melihat suasana kawasan Kesawan beberapa abad yang lalu. Inilah yang dimaksud dengan penggunaan readoptive, pengenalan fungsi baru ke dalam warisan budaya, saat objek dibuka agar masyarakat menambah nilai jual kembali.
Sebenarnya, beberapa kota di dunia sudah mempraktikkan penggunaan readoptive, seperti Paris, Prancis. Mereka ‘menjual’ warisan budaya kepada para wisatawan, antara lain dengan paket wisata yang menggabungkan bangunan bersejarah dengan berbagai acara, atraksi, pertunjukan dan tarian.
Tapi Medan tidak bisa menuju seperti itu. Lihatlah bagaimana mengelola cakrawala Maimoon – kesultanan Deli yang terletak di Jln. Perjalanan Jalan Katamso tanpa mempraktikkan penggunaan readoptive. Pejalan kaki hanya untuk mengunjungi dan menonton bilik ‘mati’. Tidak ada kesan sama sekali, apalagi keinginan untuk kembali kesana. Padahal, istana memang punya potensi.
“Apakah Anda ingin memesan lagi, Sir?” Saya kaget, pelayan Tip Tip Top mengganggu lamunannya. Ternyata sudah mulai senja. Sinar matahari tidak lagi menyengat. Saya segera bangkit dari kursi rotan, membayar kasir dan keluar dari restoran kuno di daerah Kesawan. Di luar, berbagai kendaraan-mobil, sepeda motor sampai becak betor – mesin balap tergesa-gesa. mengejar sesuatu
Tiga tahun yang lalu, dari senja sampai tengah malam, akses ke Jalan Ahmad Yani ditutup. Pemerintah daerah, saat mencoba mengubah Kesawan di malam hari sebagai pusat jajanan jalanan bernuansa dan trotoar. Tapi usaha ini ambruk dan tidak bangkit lagi. Selain tidak dikelola dengan manajemen yang baik, juga diperburuk dengan dibukanya Merdeka Walk.
Di koridor ruko sepanjang Jalan Ahmad Yani, saya ingat kisah masa lalu tentang kualitas tembakau yang pernah terkenal. Nienhuys dari Belanda yang memulai itu. Tiba di tanah Deli pada tahun 1863, Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij, setelah membuka perkebunan tembakau di atas tanah yang diperoleh secara gratis dari kesultanan. Dengan mengandalkan buruh kontrak diimpor dari China daratan, Malaya, India dan Jawa, tembakau Deli mendominasi pasar Eropa.
Perbudakan yang kejam pernah terjadi di sini. Membuka padang gurun ke perkebunan tidaklah mudah. Banyak pekerja yang melarikan diri, atau mati. Rumah Sakit Putri Hijau, terletak persis di ujung jalan untuk menyaksikan tetesan keringat dan darah mereka. Juga membangun PTPN IX di Tembakau Road Deli, bekas markas Deli Maatschappij.
Waktu berubah, waktu berlalu. Satu persatu jalan baru pembangunan kota Medan terus berkembang. Ada bekas bekas yang sudah tua, ada yang setia menjaga. Tidak tahu apa warna bidang arsitektur di masa depan.
Dan apa pun yang akan dikatakan Tan Malaka jika Anda melihat kota ini sekarang juga. Dalam bukunya, From Prison to Prison, Tan Malaka menulis pujian atas keindahan dan ketertiban kota, yang menurutnya, jauh lebih baik dibandingkan dengan Jakarta bahkan Malaya. Kini, saat Batavia mulai membersihkan, memadati kawasan Old Town Fatahillah yang apik, Medan yang menyebut diri mereka Parijs van Sumatra masih tergagap di setiap langkahnya. Quo Vadis Parijs van Sumatra?
Mendesak, Revitalisasi Medan
Revitalisasi lingkungan dan bangunan bersejarah di Medan tidak berjalan seperti seharusnya, meski ada peraturan pelestarian lingkungan, bangunan bersejarah dan arsitektur arkeologi dan penghijauan. Berdasarkan peraturan tersebut, ada 42 bangunan yang harus dilindungi. Sedangkan Badan Warisan Sumatera (BWS), sebuah lembaga nirlaba yang bergerak dalam pelestarian warisan, termasuk bangunan, mencatat bahwa sekitar 150 bangunan layak dilindungi lagi di luar 42 bangunan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sebagian besar bangunan dimiliki oleh individu, kelompok atau daerah. (pesona.travel)