Batakpedia.org- Wastra nusantara merupakan salah satu hal yang dapat menjadi fokus kita sebagai masyarakat Indonesia untuk melestarikan budaya Indonesia. Wastra adalah kain tradisional peninggalan leluhur secara turun-temurun yang menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia.
Menurut Notty J. Mahdi, Antropolog dari Universitas Indonesia sekaligus pemerhati batik Indonesia, wastra pada awalnya adalah kain adat atau kain yang digunakan saat upacara adat. Namun kini, wastra nusantara bermakna kain tradisional yang juga dipakai untuk sehari-hari. Indonesia memiliki beragam wastra, salah satunya adalah ulos dari Sumatera Utara. Erfan Siboro, seorang penggiat wastra ulos (tenun ulos) membagikan pengalamannya mengenai perjuangannya menjadi seorang wastra ulos.
1. Ulos bukan sesuatu yang “keramat”
Tenun ulos biasanya dilambangkan sebagai jenis kain untuk suatu prosesi adat, padahal sebenarnya ulos itu merupakan kebutuhan sandang yang umum bagi suku Batak. Ulos bukanlah sesuatu yang keramat sehingga kita harus khawatir dan pada akhirnya menghambat perkembangan ulos itu sendiri dalam dunia fashion. Karena kenyataannya pada zaman dahulu, ulos adalah sebuah kebutuhan sandang.
2. Melalui Abit Kain, Erfan memperkenalkan indahnya kain ulos sebagai bahan sandang
Bukan suatu kesempatan bisnis yang dilihat, tetapi rasa prihatin akan pelestarian ulos yang dipikirkan oleh Erfan. “Kok sedih ya, gak ada yang pake ulos,” ungkap Erfan dalam acara Diskusi Wastra dan Kemerdekaan bertajuk “Mencintai Wastra Nusantara, Menjaga Ingatan Tentang Peradaban” yang diadakan PT Nojorono Tobacco International dalam rangka menyambut peringatan kemerdekaan RI ke-74 , di Tanamera Coffee, Kemang, Jakarta Selatan, Selasa (13/8). Erfan memproduksi Abit Kain berdasarkan pesanan, tetapi ada pula pakaian ready to wear yang diproduksi dengan jumlah tertentu di bawah bendera Abit Catalogue. Usaha ini dirintisnya sejak 2015 dan telah mendunia.
“Yang menarik dari usaha yang saya jalani ini adalah saya seperti membuka kembali sebuah tabir sejarah dan fakta, yaitu mengembalikan fungsi tenun ulos sebagai produk sandang,” tutur Erfan, pemenang program Semarak Djiwa Tangguh yang diadakan salah satu usaha bisnis PT Nojorono Tobacco International.
Tidak ada segmentasi khusus dalam usia yang dituju oleh sang pendiri Abit Kain ini, melainkan orang yang mau belajar, mau mengerti, dan mau menghargai karya anak bangsa.
3. Beragam ulos dengan masing-masing arti
Ulos digunakan dalam setiap life cycle suku Batak. Dalam adat Batak, manusia terhitung sudah memiliki kehidupan sejak usia tujuh bulan di kandungan. Di saat itu pula, orang Batak sudah menerima ulos dari nenek pihak ibu, yaitu ulos Bintang Maratur. Lewat ulos itu, diharapkan bayi akan lancar saat proses persalinan dan dapat menjadi bintang yang bersinar bagi orang sekitar.
Selanjutnya ulos Mangiring, untuk gendongan bagi anak pertama dengan tujuan sang anak pertama dapat menjadi pemimpin dan panutan bagi adik-adiknya kelak. Ulos Ragi Hotang diberikan saat menikah, ulos Sibolang dipakai sehari-hari, dan ulos-ulos lainnya. Setiap ulos pastinya memiliki makna masing-masing, namun sebenarnya dapat digunakan dalam setiap kondisi.
4. Fashion dapat menggunakan kain apa pun
Seiring perkembangan zaman, orang menganggap bahwa kain ulos hanya dapat digunakan saat upacara adat. Padahal sebenarnya, kain ulos dapat dijadikan sebagai gaya fashion masa kini. Menurut Erfan, karya yang ia buat berawal dari keinginannya untuk meramaikan pilihan penggunaan kain Indonesia sebagai pakaian formal untuk dikenakan saat bekerja sejak pemerintah menetapkan hari penggunaan kain Indonesia dalam bekerja. Erfan ingin memperkenalkan kain selain batik, tenun NTT, dan tenun lainnya. Menurutnya, fashion dapat menggunakan segala jenis kain untuk memperindah outfit sehari-hari.
“Melalui Instagram, saya memberikan edukasi melalui caption yang saya buat. Caption berisi pengetahuan mengenai jenis-jenis tenun ulos,” ucap Erfan.
5. Yakin Indonesia sudah merdeka? Kita masih dijajah brand international
Masyarakat cenderung menginginkan produk dalam negeri yang tidak terlalu mahal. Padahal, menggiatkan pemakaian produk lokal berarti membantu meningkatkan pendapatan para pengrajinnya. Masyarakat cenderung mementingkan harga dibandingkan sebuah value. Tak jarang kita temukan orang yang tak segan untuk lebih memilih produk luar negeri dengan harga setara dengan produk karya anak bangsa. Sementara ketika membeli produk karya anak bangsa, masih nawar. Kalau begini, yakin Indonesia sudah merdeka? . (idntimes)