Batakpedia.org– Tamu-tamu undangan duduk memadati meja-meja kayu panjang yang disusun sedemikian rupa di sekeliling pelaminan. Di setiap meja, tersedia sebuah ember kecil berisi sedikit air. Meskipun ini upacara pernikahan, ada juga ibu penjaja kacang dan air mineral yang berkeliling menawarkan dagangannya.
Itulah sekilas pandang ketika saya memasuki lantai dua gedung pertemuan HKBP Balige, Kabupaten Toba Samosir, tempat pesta perkawinan teman saya dilangsungkan pada Kamis (12/3/2015) lalu. Saya takjub, suasana pestanya benar-benar jauh berbeda dengan resepsi pernikahan yang biasa saya datangi di Jawa.
Resepsi perkawinan di Jawa biasanya cuma dilangsungkan selama kurang lebih 2 jam, tamu-tamu bersalaman dengan mempelai, foto bareng, menyantap makanan prasmanan, lalu pulang. begitulah tamu datang silih berganti. Sementara, pesta perkawinan adat Batak Toba terasa lebih lama dan rumit, karena sebagian besar prosesi adat dilakukan pada satu waktu. Beda dengan adat Jawa yang prosesi seserahan, siraman, dan resepsinya dilangsungkan pada waktu yang berbeda.
Menyambung catatan perjalanan ke Toba Samosir sebelumnya, kali ini saya akan mengulas menariknya pesta perkawinan adat Batak Toba yang beruntung bisa saya saksikan secara langsung.
Pesta perkawinan pagi itu dimulai dengan prosesi Marsibuhai-buhai
Marsibuhai-buhai merupakan acara pembuka dalam rangkaian pernikahan adat Batak. Sebelum melakukan pemberkatan dan pesta adat, mempelai pria terlebih dulu menjemput mempelai wanita di kediamannya bersama keluarga.
Berbekal kamera, saya mengawal rombongan mempelai wanita menuju Miangai, rumah “pinjaman” tempat di mana mempelai wanita akan dijemput oleh pihak pria. Miangai biasanya digunakan jika keluarga mempelai wanita tidak berasal dari daerah situ, seperti teman saya yang berasal dari Belitung. Makanya, mereka “meminjam” rumah kerabat satu marga yang berada di daerah tempat pernikahan dilangsungkan. Soalnya, gak mungkin, ‘kan menjemput mempelai wanita sampai ke Belitung sana dari Balige?
Sembari menanti datangnya pihak mempelai cowok, acara dimulai dengan doa dan makan bersama. Tamu-tamu disodori makan berat berupa nasi dengan lauk saksang babi khas Batak Toba.
Tak lama, pihak mempelai lelaki pun tiba. Diiringi musik Batak yang sepintas mirip tanjidor Betawi, prosesi Marsibuhai-buhai pun dimulai. Mempelai pria didampingi keluarganya memasuki rumah Miangai dan melakukan seserahan secara simbolis. Usai mendaraskan doa bersama, kedua pihak mempelai bergegas menuju Gereja HKBP Balige, tempat pemberkatan dan pesta adat dilangsungkan.
Pemberkatan di Gereja atau Pamasu-Masuon, prosesi paling khidmat di antara seluruh rangkaian pernikahan adat Batak Toba
Musik dengan irama yang semangat tak berhenti mengiringi sampai rombongan kedua mempelai memasuki gereja HKBP Balige. Di sinilah nantinya pemberkatan dan proses pencatatan sipil dilaksanakan. Prosesi pemberkatan ini disebut Pamasu-Masuon dan berlangsung kurang lebih satu jam. Saat itu, pemberkatan dipimpin oleh seorang pendeta wanita.
Saya perhatikan, kostum batik gak terlalu populer dalam pesta adat Batak ini. Yang pria mengenakan setelan jas lengkap, sementara yang perempuan mengenakan kebaya dipadukan dengan kain ulos. Sehelai kain ulos diselempangkan di bahu sebelah kanan sebagai hiasan yang khas dari batak Toba.
Bisa dibilang, pamasu-masuon adalah bagian paling khidmat dan tenang di antara seluruh prosesi pernikahan adat Batak. Soalnya, prosesi berikutnya tak pernah sepi, selalu heboh dan meriah. Seusai mengucapkan janji perkawinan, acara dilanjutkan dengan pencatatan sipil oleh petugas.
Sebelum pindah ke pelaminan, kedua mempelai berfoto bersama keluarga, kerabat, dan teman-teman dekat. Karena, prosesi adat selanjutnya gak bisa sembarangan dipotong buat foto-foto. Ini berbeda dengan resepsi pernikahan di Jawa, di mana kegiatan foto-foto biasanya dilakukan di pelaminan.
Marunjuk, puncak dari seluruh prosesi perkawinan adat Batak yang unik dan meriah
Usai berfoto bersama sanak kerabat, pengantin diantar menuju gedung pertemuan di belakang gereja, tempat pesta adat atau marunjuk dilaksanakan. Inilah acara puncak dari seluruh prosesi pernikahan adat Batak: pesta diiringi musik tanpa henti sampai matahari terbenam. Konon, marunjuk ini dulunya bisa berlangsung berhari-hari. Kebayang gak gimana stamina yang mesti dipersiapkan kedua mempelai hanya untuk pesta? Untungnya, pesta yang saya hadiri kali ini “hanya” berlangsung kurang lebih delapan jam. Fiuhh!
Jangan membayangkan gedung pertemuan mewah ala ballroom hotel; gedung yang mereka gunakan ini sama sekali jauh dari kesan mewah. Sebaliknya, gedungnya sederhana dan terbuka, seolah menyambut siapa saja yang datang tanpa memandang status.
Ada sejumlah tahapan acara yang berhasil saya tangkap saat pesta marunjuk ini berlangsung:
Mengiringi pengantin ke pelaminan
Marunjuk dimulai dari sanak keluarga mengantarkan kedua mempelai menuju pelaminan. Di sini, mereka berdua didoakan dan diberkati lewat taburan beras di kepalanya. Tubuh mempelai wanita lalu dililitkan ulos sampai menutupi kebayanya, sementara mempelai pria menyampirkan ulos di bahu sebelah kanan.
Di pelaminan, pengantin gak didampingi oleh orang tuanya, melainkan oleh seorang pendamping pria dan pendamping wanita. Biasanya, yang dipilih untuk mendampingi mempelai adalah mereka yang bukan dari anggota keluarga inti dan masih lajang. Tapi, sepertinya pelaminan ini hampir gak digunakan sepanjang acara. Mempelai biasanya ikut melantai dan bergabung dengan sanak keluarga.
Menyambut Hula-hula
Penyambutan Hula-hula ini mirip sama acara salaman yang jadi inti resepsi pernikahan di Jawa. Hula-hula adalah sanak keluarga dan kerabat baik dari pihak laki-laki maupun perempuan yang disambut oleh keluarga dekat dari pihak laki-laki. Selama penyambutan ini, para tamu berbaris sesuai urutannya dan bersalaman sambil menari Tor-tor diiringi musik Batak yang bertempo cepat.
Yang wanita diwajibkan membawa tandok atau wadah beras dari anyaman pandan di atas kepala sebagai simbol hadiah kepada mempelai. Meski membawa beban, mereka tetap santai berjalan dengan sepatu bersol tinggi. Padahal, beban di kepala mereka bisa mencapai belasan kilogram, lho. Di ujung barisan, ada orang yang bertugas memberi selembar uang pada hula-hula ini.
Pasahat jambar
Di pesta adat Batak Toba, ada pembagian jambar kepada sanak keluarga serta orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan acara. Jambar ini berupa daging dan uang. Untuk jambar daging, si empunya pesta biasanya memotong babi. Tapi jika mereka tergolong mampu, mereka akan memotong kerbau untuk dibagikan.
Bagian-bagiannya pun sudah ditentukan secara adat. Bagian kepala untuk siapa, ekor untuk siapa, perut untuk siapa. Yang jelas, semuanya mendapat adil sesuai porsi dan peraturan adat. Yang menarik, jambar daging ini dipotong-potong dan dibagikan di depan pelaminan. Di mana lagi bisa kamu temukan potongan kepala kerbau di atas meja undangan? Benar-benar epik!
Marhata Sinamot
Nah, kalau yang ini adalah acara penyerahan mahar dari pihak lelaki (paranak) kepada pihak wanita (parboru) sesuai jumlah yang sudah ditentukan sebelumnya. Mahar ini diterima oleh ibu dari mempelai wanita dengan ulos yang terbuka.
Selanjutnya, paranak juga melakukan manor-tor sambil berkeliling menyalami keluarga parboru satu per satu. Secara bergiliran, masing-masing orang dari pihak lelaki menyelipkan uang ke jari anggota keluarga dari pihak wanita. Sepintas mirip saweran di acara joget. Hehehe.
Mangulosi
Nah, inilah yang menjadi bagian puncak sekaligus yang paling penting dari prosesi marunjuk. Prosesi mangulosi atau memberi ulos dimulai dari orang tua kedua mempelai menyampirkan selembar ulos kepada mempelai sembari memberi wejangan dan doa. Selanjutnya, keluarga dekat mempelai dan hula-hula secara bergantian menyampirkan ulos kepada mempelai sebagai hadiah pernikahan.
Akhirnya, teman saya sempat menitikkan air mata saat mangulosi ini. Entah karena terharu mendengar wejangan dari sang ibu atau karena capek. Oh iya, dipenghujung prosesi mangulosi, saya dan tiga teman saya juga diulosi sebagai ucapan terima kasih dari keluarga mempelai.
Sepanjang prosesi marunjuk ini, musik tak pernah berhenti mengiring. Tarian tor-tor juga terus-menerus ditarikan seirama alunan musik. Acara ini akhirnya ditutup dengan doa bersama, lalu mempelai wanita pun pulang ke rumah mempelai pria.
Makan bersama, simbol kemakmuran sejati orang Batak Toba
Di antara prosesi marunjuk yang memakan waktu berjam-jam, hal yang begitu menarik hati saya justru adalah jamuan makannya. Saya yang kebetulan lelah mondar-mandir memutuskan untuk duduk dengan beberapa teman saya sambil ngemil kacang yang dibeli (ya, beli!) dari penjual yang mondar-mandir di gedung pesta. Para penjual itu tidak diminta pergi oleh si empunya pesta, melainkan dibiarkan menjajakan dagangannya kepada para tamu. Itulah salah satu keterbukaan yang saya tangkap dari orang Batak Toba. Mereka menganggap sesamanya saudara, gak ada orang asing di sana. Memang suasananya jadi kayak pasar, tapi itu justru memperkaya nuansa di pesta pernikahan ini.
Meja-meja mulai dipadati tamu; jamuan makan rupanya sebentar lagi dimulai. Teman saya yang Islam bergegas pindah ke ruangan sebelah. Ya, jamuan untuk tamu beragama Kristen dan Islam memang dipisah karena jamuan utamanya sebagian besar haram alias berbahan babi. Saya yang bisa makan babi memutuskan untuk tetap di tempat saya semula.
Nah, kalau biasanya jamuan pesta berupa makanan prasmanan yang tamunya bisa mengambil sendiri, kali ini makanan diantar ke meja-meja. Caranya pun sedikit “brutal” bagi saya. Pembagian nasi dan daging babi yang disaksang serasa seperti pembagian makan di penjara: nasi dituang satu per satu dari baskom ke piring tamu dengan porsi yang luar biasa. Lalu, daging babi juga dibagikan dengan cara yang sama. Benar-benar bikin saya kaget, namun juga terpesona 😀
Saya yang masih terlongo bingung karena berpikir bagaimana menghabiskan nasi sebanyak itu makin kaget; ibu-ibu di sebelah saya mengeluarkan beberapa kantong plastik dari tasnya untuk membungkus sebagian nasi di atas piring. Salah satu dari mereka juga sudah menyiapkan wadah makanan plastik untuk membawa babi saksangnya. Wow!
Meski tanpa sendok dan garpu, orang-orang makan dengan lahap. Apa boleh buat, saya gak sanggup menghabiskan makanan di piring saya. Gak disangka, makanan sisa saya juga sudah “diincar” untuk dituang ke dalam plastik dan dibawa pulang! Yang tadi sih okelah, mungkin nanti akan dimakan sanak keluarga di rumah, tapi ini?
Ketika saya tanya, ibu-ibu itu menjawab sambil tertawa, “Buat makanan ayam di rumah, Mas.” (Ibu itu memanggil saya ‘Mas’ karena tahu saya dari Jawa.)
Ya, pengalaman jamuan makan kali itu sungguh di luar dugaan. Di balik kesederhanaan dan kepolosan mereka saat jamuan makan, di situlah saya sadar. Bagi mereka, pesta yang besar itu bukan diukur dari panggung pelaminan dengan dekorasi yang mewah atau band yang terkenal. Ketika semua bisa makan sampai kenyang, itulah sejatinya pesta yang sukses di mata mereka.
Meski bahasanya sama sekali tak bisa saya pahami, segala pengalaman unik yang saya alami membuat Balige jadi punya tempat tersendiri di hati saya. Suatu hari, saya ingin datang lagi dan menikmati jamuan pesta dengan cara yang berbeda seperti ini. (hipwee)