Batakpedia.org– Bagiku, air bersih adalah keharusan dalam hidup. Begitu juga dengan binatang. Hewan endemik bernama Ikan Ihan di perairan Sumatera Utara, akhirnya tersisih akibat air telah diracun.
Kerap kali saya berdebat dengan kawan saya tentang air minum. Sederhana saja, di Jakarta, air seperti apa yang harus kita beli untuk manusia yang mengisi kontrakan sederhana kami?
Di Jakarta, sangat sulit orang percaya kepada satu dan lainnya. Banyak pengusaha nakal–tidak semua–yang tak memikirkan perasaan dan kesehatan konsumennya. Asal untung besar, modal ditekan serendah mungkin.
Perdebatan itu seperti pilihan, di mana kita harus membeli air minum? Harga berapa yang harus kita beli? Merek apa air minum itu? Dan lain-lain.
Untuk pertanyaan pertama, saya menjawab: Depan rumah saja. Toh, berhadapan dengan kontrakan, berdiri kokoh toko kelontong yang berdagang air galon. Pedagang itu menyimpan galon di ruang tamunya.
Yang kedua, saya menjawab harga Rp18 ribu saja. Toh, airnya enak diminum. Tak ada rasa-rasa yang aneh, yang bisa membuat kita tersedak dan muntah-muntah, seperti rasa pasir dan tanah atau tercampurnya kaporit, yang kerap kita rasa saat meminum air sembarangan.
Lalu muncullah perdebatan. Beberapa kawan di kontrakan ingin, air yang dibeli berkisar Rp5-8 ribu saja. Kawan saya melihat depot air minum yang tak jauh dari rumah. Itu terlalu rendah, kataku. Saya menyodorkannya pertanyaan, bahwa kira-kira di mana sumber air murah itu?
Kawan saya itu berpikir dan membenarkan, jika air itu murah dari biasanya, kita harus skeptis. Dari mana datangnya, bagaimana rasanya. Toh, di Jakarta, kita sulit menemukan mata air pegunungan.
Lalu jika murah, berapa modal air atau harga pokok produksinya? Biaya kemasan, perawatan mesin dan lain-lain harus dipikirkan dulu. Jika ada yang bilang ribet, jelas, karena ini untuk kesehatan kami.
Soal merk, air yang kami beli sudah punya nama. Kalau nantinya air itu memang dipalsukan, itu soal lain. Yang penting, saya sudah berikhtiar, ini jalan yang tepat buat kesehatan dan keamanan kawan kontrakan.
Pertanyaan ini didasari dari beberapa kasus yang mengerikan demi uang. Sebelumnya, Polsek wilayah Cilandak, Jakarta Selatan, pernah mengamankan pedagang air kemasan palsu.
Kapolsek Cilandak, Kompol Sujanto menjelaskan awalnya konsumen mengeluh terhadap air mineral berlabel terkenal yang berkualitas buruk. Air itu dikeluhkan karena warnanya keruh dan tak segar.
Terang saja, belakangan diketahui, proses air tanah di penampungan dialirkan melalui tabung saringan yang berisi pasir, kemudian melalui selang dimasukan ke dalam galon dan hasilnya siap dipasarkan.
“Kita sudah amankan sebuah toren penampungan air sumur, sebuah mesin air, satu set penyaring air sumur, sebuah mobil pick up, 40 galon isi air sumur siap dipasarkan, dua kardus isi tutup label, dan 4 karung isi bekas tutup leher Aqua galon,” ungkap Kompol Sujanto.
Dalam sehari, para tersangka dapat memproduksi 300 galon dan diedarkan ke tujuh toko. Dari bisnis hitam ini, para tersangka dapat mengantongi keuntungan besar. “Sehari (produksi) 300 dijual Rp 13.000 per galon, untung bersih Rp9 ribu per galon.”
Saya terakan satu kasus saja. Saya mengerti, Anda lebih banyak tahu lagi soal kasus serupa. Intinya, soal air minum, kita haruslah berhati-hati. Kesehatan itu mahal, bukan?
Kita sebaiknya tidak berpikir seperti bagaimana masyarakat yang terpaksa harus minum air keruh karena kekeringan dan alasan lain. Jika kita tak terpaksa, mengapa harus mengabaikan hal yang baik? Urusan isi kantong belakangan.
Sama halnya yang diuraikan Johnny Ambarita, lelaki Batak yang saya temui di Taman Ismail Marzuki dalam ulang tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara beberapa waktu lalu.
Seperti kita semua yang selalu berharap dan berusaha untuk mengasup makanan yang sehat. Ikan untuk sesaji yang biasanya dipakai penganut kepercayaan Parmalim, juga butuh dilestarikan. Kepadaku, Johnny bercerita dengan sangat asyik. Bahasa Bataknya sungguh kental. Beberapa kesempatan, saya menyuruh Johnny untuk mengulang kalimatnya.
Ada dua alasan. Pertama, wawancara kita lakukan dekat dari pelantang untuk panggung hiburan acara AMAN. Kedua, beberapa kalimatnya terdengar asing (Bahasa Batak) dan harus saya catat baik-baik.
Johnny bercerita, sekarang di kampungnya, tak ada lagi ikan Ihan. Sungai-sungai sudah tercemar. Perusahaan kertas membuang limbahnya di sungai dan mengakibatkan ikan endemik Sumatera Utara itu hampir punah.
Mendengar Johnny bercerita, saya ngeri dan merasa nyeri. Biasanya, dalam beberapa kasus kepunahan hewan, justru masyarakat yang tak bisa mengontrol nafsu perutnya dan pedagang kemaruk punya andil dalam menghabisi binatang-binatang untuk dijual.
Ikan Ihan tidak. Ikan itu bukan santapan setiap hari. Menurut Johnny, ikan itu barulah akan dikari atau dimasak dengan segala jenis rupa, untuk sesaji dan jika ada hajatan adat saja.
Tetapi dari sumber lain, dari Tobatabo, disebutkan kalau ada dua penyebab utama kelangkaan ikan Batak itu. Pertama, penangkapan berlebih karena harganya yang fantastis yakni bisa mencapai Rp300 ribu per ekor.
Sementara pembudidayaannya belum dapat dilakukan, karena sulitnya meniru habitat asli ikan ini, yaitu air sungai jernih (bersih) yang mengalir deras dari pegunungan atau di dasar danau pada suhu 20-25 derajat Celcius.
Kedua, kerusakan habitatnya akibat polusi sehingga perkembangbiakannya tersendat. Polusi sungai dan danau terjadi akibat pembuangan limbah dan penebangan hutan di daerah hulu. Ikan ini hanya bisa hidup dan berkembang biak dan baik, di perairan jernih dan berarus deras.
“Kami sedih, ikan itu kian hari berkurang. Sungai-sungai sudah kotor.”
Kata Johnny, sudah 20 tahunan ini, mereka merasa kalau Ihan makin hari makin berkurang. Dulunya, mereka hanya menangkap Ihan dengan peralatan seadanya menggunakan bubu. “Kami tangkap di Sungai Bah Bolon dulunya.”
Di Sumatera Utara, Ihan berkembang biak di beberapa sungai di sekitar wilayah adat. Seperti Sungai Maranti, Sibuar-buar, Siang Garbo dan Sidogor-dogor. Puluhan tahun yang lalu, di pasar, Ihan masih banyak yang jual. Harganya tak semahal sekarang. Sebab sudah sulit mendapatkan Ihan.
“Kalau toh ada, harganya itu mahal. Kan sudah jadi ikan yang hampir punah.”
Perusahaan pendatang PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang dituding mencemari sungai, tempat Ihan hidup. Bersama AMAN, Johnny merasa pihaknya adalah korban perusahaan kertas itu.
Johnny secara detail menjelaskan, kalau TPL meracuni ikan dengan pestisida. “Limbah dari racun yang mereka gunakan untuk tanaman equaliptus mereka.”
Mereka merasa, Toba Pulp harus bertanggung jawab. “Kami sudah mengadu ke dinas lingkungan hidup. Kami bawa data-data yang menguatkan, kalau perusahaan itu punya limbah berbahaya yang mengalir di sungai.”
Tetapi, setelah dilapor ke Dinas Lingkungan Hidup, yang didapat Johnny dari PT Toba, hanya kalimat kalau mereka tidak merasa mencemari lingkungan atau membuang limbah di sungai.
Faktanya, Johnny menemukan beberapa limbah yang tersebar di beberapa titik sungai yang sudah saya tuliskan di atas. Sementara titik Ihan mati, ditemukan Johnny di lokasi perairan Bombongan Nabolon.
Johnny dan masyarakat adat lain pun tidak tahu, sampai kapan Ihan akan menghilang dan punah dari sungai-sungai mereka. Toh, untuk pengembangbiakan, mereka belum terlalu mahir dengan Iptek.
“Selama ini perkembangbiakannya alami. Masyarakat juga belum paham lebih jauh soal pengembangbiakannya.”
Jadi mau sampai kapan kita menjauhkan tradisi orang-orang yang berpegang teguh pada adat Batak yang berhubungan dengan hewan endemiknya? Sampai kapan kita mau diam dengan pencemaran lingkungan yang mereka rasakan? Sampai kapan kita terus-menerus menangkapi ikan Ihan secara besar-besaran?
Percayalah, jika tak segera dicari formula minimal untuk mempertahankan populasi Ihan. Maka masyarakat adat Batak akan tak jauh berbeda dengan masyarakat umum. Tak punya ciri khas lagi. Leluhur akhirnya terlupa. (etnis)