Batakpedia.org- “Woooh, kuliah di fakultas hukum?! Pasti jago, hapal KUHP dan KUHPer ya?!”
“Wuiiih! Lulus jadi hakim nih. Asiiik, ntar kalau gue ditilang, bantuin gue ya di pengadilan!”
Beribu pertanyaan semacam ini sering menghinggapi telinga orang-orang yang memilih Fakultas Hukum sebagai kampus mereka semasa kuliah.
Tidak sedikit pertanyaan dan anggapan yang salah kaprah atau tidak sepenuhnya benar dilontarkan. Terkadang, kamu yang berkuliah di jurusan hukum, bingung bagaimana cara menanggapinya. Kalau bilang tidak benar, takut mengecewakan harapan orang; kalau dibilang pasti betul bakal bikin makin salah kaprah.
Apa saja sih hal-hal stereotype tentang anak hukum yang ternyata nggak selalu benar itu?
1. Memang sebagian besar dari kamu terlatih untuk pandai silat lidah, tapi nggak lantas semuanya jago berdebat.
“Eh lo aja deh yang ngomong sama petugasnya! Lo kan pasti pinter debat, anak hukum gitu!”
Pintar bicara, pandai berdebat dan kuat mempertahankan pendapat tentu merupakan kualitas ideal dari semua orang yang berniat bekerja di bidang hukum. Terutama untuk bekal membela klien di depan meja hijau. Akan tetapi harus diakui kalau nggak semua orang terlahir dengan bakat ini atau bisa menguasainya dengan mudah.
Begitu juga dengan kamu yang merasa anak hukum tapi masih malu-malu kucing dan nggak bakat asertif ketika berbicara di muka umum…
2. Kamu juga sudah terlatih menghapalkan sejumlah pasal penting, tapi tidak lantas kamu hapal seluruh isi kitab undang-undang!
“Pasti kamu hapal undang-undang dong ya. Pasal-pasal gitu… coba dong kalau ada kasus ini kena pasal berapa?”
Undang-undang itu jumlahnya ada ratusan. Peraturan hukum yang ada jumlahnya sangat banyak dan terus bertambah.
Memang sih kamu yang anak hukum sedikit banyak pasti tahu sejumlah pasal-pasal penting maupun undang-undang yang paling diperhitungkan. Bahkan mungkin ada para jenius yang benar-benar bisa hapal semuanya. Namun, meski hakim berpengalaman pun masih dipersilahkan menilik isi kitab perundangan karena memang mustahil kalau mau dihapalkan semua di luar kepala.
3. “Kalau minggu ini ada jadwal demo di mana, Bro?” Anak-anak Fakultas Hukum dipukul rata suka demo di jalanan, meskipun kenyataannya nggak selalu demikian.
Berjiwa idealis, pemerhati dunia politik, hukum dan keadilan otomatis membuat predikat agent of change dan sering demo turun ke jalanan melekat di dada anak Fakultas Hukum.
Padahal banyak juga yang lebih memilih pendekatan dengan diskusi, musyawarah atau seminar untuk menyampaikan aspirasi mereka. Penyampaian kritik dengan cara-cara lain seperti pers mahasiwa dan gerakan organisasi yang lebih ‘adem’ dalam menyampaikan suara juga marak dipilih.
4. “Wuih, tiap hari pake jas atau blazer dong!” Tampilan klimis a la pengacara artis yang eksis di televisi sering melekat dengan image anak hukum juga.
“Kamu habis dari kampus? Kok nggak pake blazer? Kulihat Pengacara Hotman itu pakai baju perlente terus setiap bicara di televisi”
Entah ya kalau kamu kelak jadi pengacara atau praktisi hukum juga, memang nggak mustahil kalau pakaianmu akan serba resmi mengikuti tuntutan profesi. Tapi selama kuliah sih, sama aja seperti mahasiwa di fakultas lain: yang penting rapi, sopan, berkerah dan nggak pakai sandal.
Ribet banget kalau sehari-hari kuliah pakai setelan suit atau blazer profesional… Gak punya ongkos buat dry clean-nya juga.
5. “Elo enak ya, habis lulus masa depanmu udah pasti jelas dan cerah ya…” Mendengar komentar semacam ini kamu cuma bisa senyum kecut dengan wajah bingung.
Sebenarnya apa tolak ukur masa depan yang ‘sudah pasti jelas dan cerah?’ Apakah jurusan seseorang menjamin nasib dan kelanjutan hidupnya di masa mendatang?
Mau kuliah di jurusan mana pun, yang akan menjamin masa depan seseorang hanyalah kerja keras dan kegigihan seseorang itu sendiri. Anak hukum bukannya tidak punya kekhawatiran dan problematika soal masa depan setelah lulus. Ada berbagai kendala juga yang bakal menyertai langkah para Sarjana Hukum setelah wisuda nanti. Nggak ada yang pasti dan enak di dunia ini.
6. “Kalau udah lulus, kamu PASTI jadi hakim ‘kan? Atau pengacara? Notaris kali ya…” Kamu langsung putar otak gimana cara menjelaskan bahwa hal itu tidak selalu benar tanpa menghacurkan harapan yang mendengar.
Kuliah dan lulus dari Fakultas Hukum tidak lantas secara otomatis membuat kamu bakal jadi praktisi hukum setelah lulus nantinya. Masih ada beberapa pendidikan dan ujian khusus yang harus dilakukan agar kamu bisa mendapatkan gelar-gelar tertentu.
Selain itu lingkup karir dalam dunia hukum tidak terbatas pada pengacara, hakim, jaksa, notaris dan semacamnya saja. Ada posisi-posisi lain yang juga bisa dijalani seperti konsultan, dosen, kerja di perusahaan atau bahkan ke lapangan yang sama sekali tidak berhubungan dengan hukum. Yang penting sesuai dengan kompetensi dan minatmu.
7. “Nanti ketika kamu jadi pengacara fee-nya bakal gede banget ‘kan ya?” pendek kata, semua anak hukum dianggap akan menjadi blood-sucking lawyers, hiks.
8. Entah kenapa stereotype bahwa mahasiswa hukum akan berasal dari suku tertentu kerap melekat.
“Kalau kuliah hukum, berarti kamu orang Batak/Sumatera? Marganya apa?”
Mungkin, karena kebanyakan tokoh pengacara terkemuka yang sering tampil di layar kaca berasal dari Batak atau Tanah Sumatera kali ya?
Selain itu, orang Batak atau Sumatera juga kerap dianggap memiliki watak yang kuat dan jago mempertahankan argumentasinya sehingga terasa pantas untuk menjadi orang yang bekerja di bidang hukum. Padahal sebenarnya ada banya ragam mahasiswa yang berasal dari berbagai suku lain juga kok yang memiliki passion untuk menimba ilmu di sekolah hukum.
9. Gak jarang banyak yang berpikir kamu kuliah di bidang hukum karena meneruskan karir orang tua yang sudah mapan di sana.
“Papamu hakim/jaksa/pengacara/notaris di mana? Dulu lulusan sini juga?”
Entah kenapa, anggapan bersekolah di jurusan hukum demi melanjutkan nama orang tua semata, masih cukup banyak di kalangan mahasiswa hukum. Meskipun memang ada yang memilih fakultas ini untuk meneruskan cita-cita atau nama baik orang tua tapi nggak sedikit juga yang memilih untuk memulai langkah mereka sendiri di sana.
10. “Males ah bercanda sama dia… Anak hukum kan pasti kelewat serius kalau bercanda… nanti gue dituntut!” Lihat-lihat situasi dan kondisi juga kali, banyak kok anak hukum dengan selera humor yang bagus.
Contohnya: Ruhut Sitompul yang juga sempat sukses sebagai aktor dan pelawak. Intinya menjadi mahasiswa hukum nggak lantas membuat kamu anti-ketawa, super serius, nggak bisa diajak bercanda type of person. Bahkan banyak di antara para mahasiswa hukum yang jadi terlatih untuk mengeluarkan lelucon segar karena sering ditempa untuk terampil dalam berbicara. Biar perkataannya gak basi dan bisa menarik perhatian. Meskipun nggak bisa dipungkiri, mahasiswa hukum memang cenderung lebih suka lelucon yang sarkastik.
11. “Udah gitu, mahasiswa hukum pasti arogan, selalu merasa paling benar gitu deeeh…” Hmm, ‘berpendirian kuat’ dan ‘selalu merasa paling benar’ itu nggak sama loh!
Tergantung konteksnya, ketika tengah bercanda tentu mahasiswa hukum juga tahu kapan harus menanggapinya dengan jenaka. Nggak lantas semata-mata serba tegang dan bakal dibawa ke meja hijau semua.
12. “Kamu anak hukum pasti suka nonton ILC dooong! Lihat nggak episode kemarin pada saling maki! ” Yaaah, kalau itu sih nggak anak hukum juga boleh kok suka nonton ILC!
Kamu kuliah di suatu jurusan tertentu belum tentu juga bakal menjamin selera tontonanmu. Bisa jadi saking bosannya ngikutin perkembangan polkumham di kampus dan media massa membuat kamu lebih hobi buat nonton ILK alias Indonesia Lawak Klub dibanding ILC waktu lagi santai di rumah. Itung-itung selingan lah, mendengarkan candaan Cak Lontong setelah pusing memikirkan keadaan negara yang carut marut.
Kalian yang para mahasiswa hukum pernah merasakan salah satu dari ekspektasi di atas nggak? Atau malah mau curhat dan menambahkan poin lain yang terlewatkan. Silahkan aja… Yang penting jangan patah semangat dalam menempuh pendidikan ya! (hipwee)