Batakpedia.org -Tradisi perkawinan dalam adat Suku Batak, terutama Suku Batak Toba, menganut hukum eksogami. Perkawinan eksogami adalah suatu sistem perkawinan di luar kelompok suku tertentu, sebagaimana umumnya berlaku pada tradisi suku-suku di Indonesia.
Artinya, pria dari Batak Toba tidak mengambil istri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto). Pihak perempuan kemudian meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami atau bersifat patrilineal.
Dorongan untuk benar-benar mematuhi hukum eksogami adalah rasa takut akan meledaknya roh para leluhur. Lalu,apakah wanita Suku Batak harus kawin dengan pria sesama Suku Batak?
Secara umum, jawaban atas pertanyaan tersebut terangkum dalam kalimat berikut. “Wanita dari Suku Batak, pada masa lampau biasanya mencari pasangan sesama orang Batak dengan alasan supaya boru atau marga atau garis keturunannya tidak hilang.”
Pandangan seperti itu tentu berbeda dengan pandangan dari pihak laki-laki atau pria Batak. Pria dari Suku Batak bisa bebas mencari pasangan yang bukan berasal dari Suku Batak, karena marganya tidak akan hilang.
Sulit bagi pria Batak dapat kehilangan marganya dan mengikuti marga sang istri. Apalagi, setiap marga Batak selalu menempatkan dirinya sebagai keturunan bangsawan. Semua marga Batak adalah raja.
Selain itu, dalam adat Suku Batak terdapat tradisi sinamot, yaitu wanita Batak harus “dibeli” dengan harga tertentu sebagai semacam mahar kawinnya. “Harga beli” tergantung dari pendidikan sang wanita. Semakin tinggi pendidikan wanita tersebut akan semakin mahal juga harga belinya.
Tetapi, dalam perkembangannya, semakin banyak wanita Suku Batak yang menikah dengan pria non-Batak. Hal ini terjadi karena orang Batak memiliki semangat toleransi yang sangat tinggi atau sangat menghargai keragaman Nusantara.
Hanya saja, yang perlu dicatat bagi pria non-Batak yang ingin mempersunting gadis Batak, sebaiknya menyiapkan mahar kawin atau “harga beli” perempuan Batak yang nilainya seringkali tidak kecil.
Akan tetapi, orang tua dalam Suku Batak juga tidak bisa mengelak dari perkembangan zaman, di mana perkawinan juga harus dilandasi atas dasar cinta. Bagaimana mungkin harus menikah dengan pria Suku Batak kalau tidak ada rasa cinta di dalamnya?
Selain itu, orang tua Suku Batak dari hari ke hari juga semakin terbuka terhadap pandangan moderen. Membangun keluarga tidak akan bisa jika didasari oleh paksaan, kemauan orang tua, atau kemauan marga.
Memang sampai hari ini, masih ada orangtua Suku Batak yang bersikeras agar anak gadisnya menikah dengan pria dari sesama suku. Karena dengan itu, tumbuh semacam rasa bangga dari orangtua terhadap keluarga dan marganya.
Bagi pihak keluarga perempuan masih ada sisa-sisa pemikiran bahwa dengan perkawinan sesama orang Batak, maka ucapan namboru juga akan tetap melekat kuat.
Sulit rasanya jika wanita Batak yang sudah kawin dengan pria non-Batak, masih mendapat panggilan namboru yang cukup terhormat itu.
Di atas semua itu, ada pemikiran yang tumbuh di tengah masyarakat Batak Toba, apabila anak gadis dipaksakan menikah dengan pria Batak, maka dikhawatirkan anak gadisnya tidak mau menikah, sehingga menjadi semacam “perawan tua” (maaf apabila istilah ini kurang tepat).
Akhirnya, bagi orang tua Suku Batak yang anak gadisnya menikah dengan pria dari suku lain, kembali pada satu prinsip adat Batak, yaitu yang penting ada sinamot atau “harga beli” wanita yang sesuai.
Sinamot wanita Batak adalah sebuah kehormatan bagi diri, keluarga, dan marga. Sinamot adalah ungkapan penghargaan ke tulang (paman) sebagai hula-hula dan boru yang hendak dinikahi.