Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat Batak menganut sistem patrilineal (garis keturunan ayah). Sementara masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal (garis keturunan ibu). Bagaimana jika 2 sistem ini bergabung? Misalnya Batak tapi menganut garis keturunan ibu?
Memang tak dapat dipungkiri Batak dan Minangkau memiliki hubungan yang lazimnya daerah yang bertetanga. Hubungan ini juga bisa dilihat dengan adanya polemik/perbedaan versi tentang sejarah/asal muasal beberapa marga semisal Lubis, Nasution, Tanjung, dsb. Kita juga masih sering mendengar cerita tentang Si Pongki Nangolngolan (Setelah di Minangkabau diberi nama/gelar Tuanku Rao) yang memerangi Tulangnya sendiri, Raja Sisingamangaraja.
Mungkin kita sering menonton film atau membaca cerita seperti diatas. Seorang laki-laki dari suku bangsa yang menganut sistem patrilineal tetapi mewarisi marga ibunya. Dendam pribadi; cinta segitiga; perebutan uang, tahta, dan kekuasaan; atau karena aib (misalnya lahir diluar nikah, perkosaan, dsb). Tetapi ini kisah nyata, bukan sekadar film atau cerita. Memang ada kejadian nyata seperti itu, tetapi itu terjadi secara individu, bukan kelompok masyarakat.
Bagaimana bisa? Semua suku lainnya dalam subetnis Batak baik di Utara maupun Selatan menganut garis patrilineal. Mungkin Anda meneebak bahwa kelompok masyarakat tersebut bisa jadi bekas jajahan dari penjajah yang menganut sistem matrilineal atau tinggal di dekat daerah perbatasan yang lebih condong ke negara atau kebudayaan perbatasan. Hal ini sering terjadi kepada saudara-saudara kita yang tinggal dekat perbatasan negara asing, misalnya Malaysia, Papua Nugini, Filipina, dsb. Mereka adalah warga negara Indonesia (WNI) (dan masih menganggapnya), tetapi sudah lebih cenderung dipengaruhi oleh budaya dan kehidupan negara tetangga. Mungkin disebabkan masalah ekonomi (pusat perdagangan lebih dekat ke negara tetangga), dsb.
Begitu juga dengan suku Batak tapi menganut garis keturunan ibu. Sebagai contoh adalah marga Lubis dan Nasution yang tinggal di sebuah daerah perbatasan, Simpang Tonang.
Simpang Tonang merupakan batas terjauh wilayah Sumatera Barat yang berbatasan langsung dengan Mandailing (Sumatera Utara), namun masih masuk wilayah Pasaman (Barat). Simpang Tonang bisa dicapai lewat jalan darat dari pesisir Barat yakni Tiku , Aia Bangih atau dari Bonjol dan Rao di Pasaman. Kedua jalur itu akan bertemu pas di Simpang Tonang. Karena itulah ia disebut simpang.
Meski menyebut dan menganggap dirinya sebagai orang Mandailing (Tapanuli Selatan), warga Simpang Tonang menganut garis keibuan (matrilineal) seperti di Minangkabau. Bahasa yang dipakai di sana juga Batak Mandailing. Terdengar aneh memang.
Di Simpang Tonang, kalau ada orang bernama Lubis, itu pastilah karena ibunya bermarga Lubis walaupun ayahnya Nasution. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang bermarga Nasution, pastilah marga ibunya Nasution dan bapaknya Lubis.
Bagaimana bisa ?
Sama seperti Batak, Minangkabau juga melarang perkawinan sesama marga.
Sementara, semua marga dalam subetnis Batak baik di Utara maupun Selatan menganut garis patrilineal, termasuk di Mandailing. Masyarakat Simpang Tonang menganut sistem matrilineal (garis keturunan ibu) tersebut.
sipeop na godang ndang marlobi-lobi, si peop na otik ndang hurangan.
BATAKPEDIA