Batakpedia.org – Kemenangan pasangan SANI NURDIN pada pilgub 9 Desember 2015 bisa disebut sebagai perjuangan yang hampir mustahil.
Warga Kepulauan Riau tahu 3 bulan menjelang pilgub berdasar survei elektabilitas, paslon Sani Nurdin masih selisih 26 persen di bawah pasangan Soerya Ansar.
Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa sang petahana Gubernur Sani tidak begitu tinggi nilai elektabilitasnya. Faktor utama adalah usia tua. Kedua jaringan yang lemah. Kemudian finansial yang kering. Dan terakhir dukungan mesin partai yang mandek.
Saat itu hampir semua tokoh publik, orang partai, masyarakat bahkan timses pemenangan dibawah komando Ahars Sulaiman dan Surya Makmur Nasution skeptis dan pesimis.
Kebaikan bisa disalahkan, tapi kebaikan tidak bisa dikalahkan. Itu kata orang bijak. Bak busur panah yang meluncur dari goa gelap busur-busur panah berapi dari orang baik tiba-tiba melesat ke angkasa. Memancarkan cahaya. Memendar. Menyinari langit Kepri.
Berkumpulnya orang-orang baik lalu bersatu menyuarakan dan memperjuangkan orang baik Ayah Sani bak tsunami yang menggulung kepercayaan diri pasangan Soerya Ansar.
Saya datang sekitar bulan September. Dalam perenungan saya perlu ada terobosan kampanye yang efektif dengan daya ledak keras. Menjadi magnet kuat menarik perhatian publik sekaligus menjadi benteng serangan lawan.
Saya membuat tagline untuk menerobos serangan lawan berupa barang rongsokan, sudah uzur, sudah bau tanah dan lain sebagainya dengan tagline baru “Sani Ayah Kita”.
Saya lempar ke publik awal Oktober. Saya cetak 10 spanduk di CV IA dari kantong saya sendiri. Di pasang di beberapa titik.
Hasilnya? Bak meteor melesat kencang, respon publik sangat positif. Tagline Sani Ayah Kita berhasil membongkar persepsi ulang publik yang kadung percaya sang petahana Sani itu rongsokan besi tua, uzur, bau tanah, dan lain sebagainya.
Ayah Sani adalah ayah kita. Seumuran dengan ayah kita. Maka mengolok-olok ayah Sani sejatinya mengolok-olok ayah kita di rumah. Sejak itu olok-olok kampanye murahan itu mati gaya. Semakin diserang, api malah membakar si penyerang.
Perlawanan baru dimulai. Tapanuli Center merapatkan barisan. Bersatu padu dengan relawan lainnya mengisi ruang-ruang suara pemilih yang selama ini dikuasai Soerya Ansar.
Konser “Marsada Hita” dengan artis tunggal Judika pada 22 November 2016 menjadi ledakan dahsyat yang mengguncang bumi Kepri.
Menjadi pemicu ledakan magnet lainnya di seantero Kepri. Menjadi perekat etnis Batak yang sebelumnya cenderung ke Soerya Ansar.
Sejarah akhirnya mencatat, ayah Sani menang dengan selisih 6.17 persen. Kemenangan ini menjadi kemenangan paling dramatis dan berkesan sepanjang pertarungan pilkada gubernur di Indonesia. Begitu keras dan panas.
Bercermin dari pilgub 2015 lalu, gawean pilgub Kepri 2020 sudah mulai terasa getarannya. Sudah mulai hangat. Pembicaraan di kedai kopi menjadi topik utama.
Apalagi di lapo tuak, prajurit dari tim sukses paslon sudah mulai bergerilya. Masuk ke simpul-simpul marga Batak.
Jika tidak ada perubahan, sepertinya akan terjadi 3 paslon yang akan ikut berkompetisi.
Paslon petahana Isdianto Suryani dari Hanura dan PKS.
Paslon Ansar Ahmad-Marlyn Agustina dari Golkar NasDem PAN Hanura PPP.
Dan paslon Soerya Iman dari PDIP Gerindra PKB.
Bagaimana proyeksi pertarungan Pilgub Kepri 2020 ini? Akankah sejarah berulang kembali?
Philip Guedalla (1889-1944) yang dikenal sebagai sejarawan dan esais, seorang pop kultur asal Inggris, menjawab pertanyaan itu.
Sejarawan kelahiran Maida Vale, London dari sebuah keluarga Yahudi keturunan Spanyol ini mengatakan,
“Sejarah berulang dengan sendirinya. Sejarawan saling mengulang satu sama lain.”
Pepatah Perancis mengatakan, L’Histoire se Répète, sejarah mengulang dirinya sendiri.
Saya yakin kemana suara pendulum suara dari suku Batak akan menentukan siapa sang jawara Pilgub Kepri 2020.
Kita lihat saja.
Salam perjuangan penuh cinta
Penulis: Birgaldo Sinaga