“BERKELANA DENGAN SANDRA – MENYUSURI ULOS BATAK”
Penulis : MJA Nashir
Penerbit : Bergoord Publishing, Fangmanweg 23 Oosterbeek Netherlands, 2011.
Desain Sampul: Pang Warman
Desain Isi: DS Priyadi
388 halaman ; 15.5 cm x 24 cm
Hardcover & softcover, kertas isi bookpaper
creamy 57 gr
ISBN: 978-602-99970-0-2
Dicetak oleh Baraka Grafika Yogyakarta
HARGA BUKU:
Hard Cover Rp.150.000,- , Soft Cover Rp.100.000,-
(+ongkos kirim dalam negeri Rp.30.000,-)
Untuk pemesanan buku dan teknisnya; kontak langsung ke inbox FB Mja Nashir
Sekelumit tentang skema dan isi tubuh buku Berkelana dengan Sandra – Menyusuri Ulos Batak secara chapter per chapternya:
CHAPTER 1: SAMOSIR
Berkisah tentang awal perjalanan kami – Sandra Niessen (antropolog Belanda-Kanada, peneliti tenun Batak), MJA Nashir (fotografer) dan Pak Jerry (driver) – dalam “Proyek Pulang Kampung” di bulan Juni 2010. Perjalanan dimulai dari kota Medan melewati Pematang Siantar menuju Pulau Samosir. Perjalanan pulang kampung Sandra Niessen ke Tano Batak ini untuk membagi-bagikan buku hasil penelitiannya tentang tenunan Batak yang telah berlangsung selama 30 tahun – Legacy in cloth – Batak textiles of Indonesia (KITLV Press Leiden, 2009) – kepada para penenun dan orang-orang yang pernah dijumpainya di masa silam. Di Samosir, tepatnya di Huta Bolon Simanindo menjumpai keluarga Sidauruk. Menyerap suasana museum, terjadi pertemuan unik dengan seorang tua, sang penjaga museum, Lemar Sidauruk.
CHAPTER 2 : MENUJU AWAL MULA
Perjumpaan dengan keluarga penenun di Lumban Suhisuhi, melihat kenyataan tentang tenunan Batak di tengah realitas kehidupan keluarga penenun. Melanjutkan perjalanan melewati medan yang berat namun indah mengitari pinggiran Danau Toba menuju ke sebuah tempat penting bagi Sandra Niessen, Harian Boho.
CHAPTER 3 : HARIAN BOHO
Di lembah yang tenang inilah 30 tahun silam Sandra menempa diri ke dalam pengetahuan tenunan, bersama gurunya – seorang maestro tenun Batak, Ompu Sihol (almarhum). Kembalinya kemari adalah perwujudan rasa terima kasih yang mendalam kepada sang guru dan segenap pewarisnya di Harian Boho melewati buku yang ia persembahkan. Huta ini mengingatkan kembali Sandra Niessen pada sosok gurunya yang mengerjakan ulos dari tahap awal sampai tahap akhir (manirat). Penenun yang kuat dengan tradisi biru Samosir yang dengan tangan-tangannya sendiri mewarnai benang tenunannya dengan salaon (tumbuhan indigo). Tumbuhan yang kini menjaga makam Ompu Sihol dengan damai di tengah alam yang permai.
CHAPTER 4 : PERISTIWA-PERISTIWA SIHOTANG
Peristiwa-peristiwa yang menggugah bathin selama perjalanan meninggalkan lembah Harian Boho menuju Sihotang. Perbenturan antara nilai-nilai luhur masa lalu dengan masa sekarang dari pertemuan dengan banyak orang. Dan perjumpaan mengesankan dengan seorang petani sederhana namun berjiwa mulia, bersama anak-anaknya yang tengah memanen sawah mereka.
CHAPTER 5 : LAPPET, GUNUNG TOBA DAN WARISAN ANAK CUCU
Pertemuan dengan keluarga Ompu Borsak di Pangururan dan melanjutkan perjalanan kembali menuju arah Nainggolan. Di tengah perjalanan di sekitar Palipi bertemu penenun tua (90-an tahun) – Ompu Nerda br Marbun – yang kini sudah tidak menenun lagi dan menghidupi diri dengan kerajinan anyaman pandan meskipun dulunya penenun hebat dengan karya-karya ulos yang mempesona. Seperti halnya ulos-ulosnya yang disimpan, buku karya Sandra menjadi istimewa baginya dan akan diwariskan kepada anak cucu kelak jika beliau tiada.
CHAPTER 6 : NAINGGOLAN – MUARA, ADA BAHAGIA ADA DERITA
Pencarian seorang panirat tua, Amang Parhusip di Nainggolan. Cukup rumit. Sandra tidak begitu ingat di mana persisnya dulu pernah berjumpa, kemungkinan besar beliau telah meninggal dunia. Namun setidaknya harus bertemu dengan keluarga. Terbuka jalan keluar seketika, di tengah pasar yang menghubungkan keluarga panirat ini. Selanjutnya keluar Samosir menuju Muara.
CHAPTER 7 : PERJUMPAAN LUAR BIASA DI MUARA
Tersesat dari pencarian, secara tak terduga bertemu dengan seorang pemuda (Maruahal Siregar) yang ternyata anak salah seorang penenun Muara, Ompu Josua. Usai temu kembali Sandra dengan Ompu Josua dari ladang ketela, di pinggirang jalan dilangsungkan acara serah terima buku dengan ‘ritual’ sederhana di mana seketika itu pula anak-anak SMK dan para guru menyaksikannya. Menjadi peristiwa yang mengantarkan keduanya ke halaman sekolah, terayakan kembali keberadaan tenunan Batak di bawah kibar Sang Saka.
CHAPTER 8 : MUTIARA-MUTIARA YANG BERMUARA DI MUARA
Perjumpaan dengan para penenun Muara, Huta Na Godang, terutama dengan Ibu Mutiara br Pandiangan (Ompu Esther) dan lain-lainnya. Mereka adalah wajah-wajah yang pernah dijumpai Sandra pada 25 tahun silam dan telah menjadi lembar istimewa; halaman pembuka Legacy in cloth yang kini dibagikan kepada mereka. Selain perjumpaan di Huta Na Godang dan Huta Simatalo adalah juga kisah perjuangan pemuda Muara (Restuala Namora) yang merintis kembali tradisi tenun Muara yang berada di ambang punah dengan menghidupkan kekuatan Muara (tradisi pewarnaan alam).
CHAPTER 9 : LEMBAH SILINDUNG TARUTUNG
Flash back Sandra Niessen di tahun 1980-an, pertemuan pertama kali dengan keluarga penenun di Hutagalung yang kini menghubungkan kembali dengan Linda Hutagalung beserta segenap keluarga. Bersama Linda, asisten masa lalu sekaligus sahabat, menjumpai Ompu Lambok di pasar Tarutung. Melanjutkan perjalanan ke Sait ni Huta menjumpai para panirat dengan menyisakan teka-teki dari Sandra untuk mereka.
CHAPTER 10 : YANG ADA, YANG TIADA, YANG TERSISA
Masih bersama Linda berkelana di Hutagalung, menyusuri masa lalu masa kini, menjumpai para penenun dan keluarganya (Nai Ratna, Nai Arta, Nai Ganda), menapaki jejak-jejak yang masih ada dan yang tiada. Kenyataan tradisi tenun Batak yang menyedihkan dan sepi. Usai menyerahkan buku Legacy kepada Universitas Sisingamangaraja XII dan Ibu Nuria Gultom di Siborongborong perjalanan berlanjut ke Parapat dan berpisah dengan Linda Hutagalung yang telah menjadi keluarga Sandra untuk selama-lamanya.
CHAPTER 11 : ANDUNGMU ANDUNGKU
Perjalanan dari arah Parapat untuk menemui beberapa penenun tua yang pernah dijumpai Sandra di sekitar Jangga Dolok sampai ke daerah Uluan. Banyak hal yang telah berubah dan hilang tertelan zaman dan menjadi kesedihan di hati kami. Kurenungkan kembali arti semua ini, perjalanan kami ini; alam yang rusak, pembabatan hutan di mana-mana demi kepentingan segelintir manusia, tradisi ulos yang kian mati, gorga dan rumah-rumah adat yang makin sirna. Aku menyusuri waktu, menyerap segenap kebijakan dan keluhuran masa lalu, kurasakan para leluhur meradang di masa yang sekarang.
CHAPTER 12 : JALAN SUNYI SANG PENJAGA TRADISI
Setelah berhari-hari berhadapan dengan kenyaatan menyedihkan atas tradisi tenun Batak, alam menghubungkan pada pertemuan tak terduga, tak terencana, yang tak ada dalam daftar Pulang Kampung Sandra. Pertemuan dengan penenun maesto di Silombu Bagasan, Ompu Okta yang menenun seorang diri di tengah huta yang sepi. Pertemuan Sandra dan Ompu Okta menjadi tarikan kuat atas perasaan yang sama-sama mereka rasakan, seketika dilepaskan dan diikat oleh alam menjadi kekuatan bagi keduanya untuk menghadapi kenyataan.
CHAPTER 13 : PIALA UNTUK BONAR
Pertemuan dengan keluarga Napitupulu di Parparean, di mana kedua ompung (boru dan doli) yang pernah dijumpai di masa lalu telah lama meningal dunia. Kini Sandra berjumpa cucu mereka, si ‘anak bengal’ yang telah dewasa, Bonar namanya. Pertemuan ini unik dan mengesankan.
CHAPTER 14 : PERJALANAN MENCARI SAHABAT LAMA
Bertanya dari satu tempat ke tempat lain, dari satu orang ke orang lain. Semakin bisa kurasakan ketabahan dan keuletan Sandra Niessen melewati pencarian sahabatnya ini di tengah kenyataan bahwa gondang Batak pun kian terdesak zaman. Pencarian membuahkan hasil membahagiakan bagi Sandra dan sahabatnya di Laguboti, Ompu Masta. Mengobati kerinduan bagi keduanya.
CHAPTER 15 : MENGALIR SEPERTI AIR
Kehangatan bersama keluarga Sebastian Hutabarat, beserta mamaknya – Mutiara Napitupulu, dan adiknya – Peiza Hutabarat. Kebaikan hati Sebastian memberi kami tempat bermalam di rumah mereka yang kosong di Dolok Tolong sangat menolong pemulihan tenaga untuk perjalanan selanjutnya. Melacak jejak keluarga Pardede di sudut-sudut Balige.
CHAPTER 16 : MEMIKIRKAN KEMBALI TENUN TRADISI BATAK
Perjumpan dengan sahabat lama, Suster Merly di Asrama HKBP Balige. Seorang tamu (lelaki Batak) menghadapkan Sandra pada situasi yang tak mengenakkan karena serbuan pertanyaan berdasar anggapan yang tak patut terhadap ulos Batak. Namun dengan bijak dan halus Sandra berhasil membalikkan situasi kepada tamu ini untuk bisa menghargai tradisi budayanya sendiri. Sebelum ke Ompu Okta lagi, kami bertandang ke huta Tampubolon yang dulu pernah ditapaki Sandra. Namun kini sepi dan terbengkelai, menjadi gambaran umum huta-huta di Tano Batak. Kembali kami menghadapi orang-orang kampung yang meminta-minta, tradisi tenun pun sudah tak ada. Kurenungkan sepenuhnya kenapa semua ini bisa terjadi.
CHAPTER 17 : TRADISI BIRU MEMBIRU HATI
Perjalanan kami di Tanah Karo, melacak jejak masa silam yang mempertemukan Sandra dengan para penjaga tradisi biru Karo (Nande Pringetten, Nande Indra, Nande Pulung). Nande Peringetten sudah meninggal dunia, pun di tangan lainnya tradisi biru sudah tak ada. Banyak yang hilang tradisi tenun Karo, termasuk motif-motif, selain warna-warna asli. Sandra meninggalkan 1 eksemplar Legacy in cloth dan beberapa foto motif-motif asli Karo di workshop pertenunan ATBM Trias Tambun agar setidaknya motif-motif ini masih bisa hidup kembali.
CHAPTER 18 : KEMBALI DI ATAS ULOS YANG TAK PERNAH LAPUK
Merenungkan keseluruhan upaya Sandra yang telah mengumpulkan keping-keping berserak dari pengetahuan tenunan Batak menjadi karya masterpiece Legacy in cloth yang kini ia pulangkan kembali di atas ‘ulos na sora buruk’ (‘ulos yang tak pernah lapuk’), di atas tanah yang melahirkannya, di tengah kenyataan semakin punahnya tradisi tenunan Batak. Menjadi biji-biji yang ditanam yang akan tumbuh kembali.
sipeop na godang ndang marlobi-lobi, si peop na otik ndang hurangan.
BATAKPEDIA