Batakpedia.org -“Kalian telah mendengar dari kami berdua mengenai bagaimana luar biasanya COVID-19 memengaruhi bisnis kita dan menghadirkan sejumlah tantangan yang harus kita hadapi dan sikapi bersama-sama. Tantangan terbesar adalah masih adanya ketidakpastian di masa mendatang.”
Pernyataan itu disampaikan Co-CEO Gojek Andre Soelistyo dalam emailnya kepada karyawan, Selasa (23/6/2020). Bersama CEO Gojek Kevin Aluwi, Andre mengirimkan surat elektronik kepada karyawannya, untuk menjelaskan kondisi terkini.
Email itu menjelaskan tentang rencana PHK Gojek terhadap 430 karyawannya atau sekitar 9%. Keputusan itu merupakan dampak dari penutupan 2 layanan GoLife: GoClean dan Go Massage, plus layanan GoFestival. Gojek memutuskan menutup bisnis non-inti yang mati suri akibat pandemi. Harapannya, perusahaan bisa bertahan dalam waktu yang lebih lama, di tengah semua ketidakpastian ekonomi.
Seminggu sebelumnya, CEO dan Co-Founder Grab, Anthony Tan juga mengirimkan pesan kepada karyawannya. Intinya sama, soal keputusan perusahaan untuk mem-PHK karyawannya. Sebanyak 380 karyawan yang merepresentasikan 5% karyawannya terkena imbasnya.
“Saat ini kita dapat melihat jelas bahwa pandemi ini kemungkinan akan mengakibatkan resesi yang berkepanjangan dan kita harus mempersiapkan diri untuk masa pemulihan yang panjang di kemudian hari,” jelas Tan.
Gojek, decacorn pertama dari Indonesia itu, ternyata tak luput juga dari dahsyatnya dampak pandemi COVID-19. Decacorn merupakan status yang disematkan kepada startup dengan valuasi lebih dari 10 miliar dolar AS. Gojek sudah menyandang status itu sejak tahun lalu. Gojek juga baru saja mengumumkan mendapatkan pendanaan dari Facebook dan Paypal. Ini merupakan rangkaian dari injeksi modal dari raksasa-raksasa kelas dunia seperti Google, Tencent, termasuk juga raksasa manufaktur Indonesia, PT Astra International Tbk.
Gojek, Grab, dan industri lainnya di berbagai belahan dunia kini memang sedang berupaya untuk bertahan sebisa mungkin. Melalui beragam upaya efisiensi, inovasi, perusahaan-perusahaan berupaya agar bisa bernapas panjang di masa pandemi, yang belum ketahuan kapan akan berakhir. Sejauh ini, obat dan vaksin untuk melawan virus COVID-19 masih dalam pengembangan. Diperkirakan baru pada tahun 2021 vaksin bisa diproduksi secara massal. Itu juga dengan catatan proses uji coba berlangsung mulus.
Artinya, perusahaan-perusahaan harus bisa bertahan dengan kondisi “Normal Baru” seperti sekarang hingga tahun 2021. Masih ada satu semester di tahun 2020 yang harus dijalani dengan penuh kehati-hatian.
Babak Belur Perekonomian
Menjelang berakhirnya semester I, kondisi perekonomian memang sudah sedemikian terpukul. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan perekonomian Indonesia akan mengalami kontraksi hingga 3,8% pada kuartal II. Pada kuartal I, ekonomi hanya mampu tumbuh 2,97%. Pertumbuhan ekonomi minus diperkirakan berlanjut hingga kuartal III, di angka 1,6%. Pertumbuhan ekonomi diprediksi mulai positif lagi pada kuartal IV di angka 3,4%. Secara total, Sri Mulyani memperkirakan ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh di kisaran -0,4% hingga 1%. Pada tahun 2019, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh 5,02%.
Sementara Bappenas memperkirakan ekonomi hanya tumbuh -0,4% hingga 2,3%. Sebelum pandemi, perkiraan pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5,3%. Semua lini penyokong pertubuhan ekonomi diperkirakan mengalami kontraksi, kecuali konsumsi pemerintah.
Konsumsi rumah tangga dan LNPRT [Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga] yang selama ini menjadi tumpuan utama pertumbuhan ekonomi diperkirakan mengalami kontraksi di kisaran -0,6% hingga 1,8%. Daya beli masyarakat memang turun tajam selama masa pandemi. Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyatakan, pandemi telah menghilangkan daya beli masyarakat hingga Rp362 triliun, dari 30 Maret 2020 sampai 6 Juni 2020 atau sekitar 10 minggu hilangnya jam kerja.
Tumpuan pertumbuhan ekonomi lainnya, ekspor diperkirakan mengalami kontraksi di kisaran 7,7% hingga 3%. Pada tahun 2019, ekspor mengalami kontraksi 0,9% akibat tekanan perang dagang AS-China. Sementara impor, akan mengalami kontraksibyang lebih besar di kisaran 12% hingga 7,5%.
Investasi yang pada tahun 2019 masih mampu tumbuh 4,4% diprediksi melemah menjadi -2,8% hingga 0,3%. Hanya konsumsi pemerintah yang diharapkan masih mencatat pertumbuhan positif di kisaran 3,3% hingga 4%, sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 3,2%.
Pandemi telah menghentikan sebagian besar aktivitas ekonomi. Sektor-sektor ekonomi yang berkaitan dengan mobilitas orang terkena pukulan parah. Salah satunya adalah pariwisata. Setelah kasus pertama Corona diumumkan Indonesia pada 2 Maret, kunjungan wisata langsung turun tajam. Pariwisata mati suri hingga beberapa bulan, dan baru menggeliat seiring pelonggaran PSBB.
Lebaran, musim libur sekolah yang biasanya menjadi tumpuan untuk pariwisata, berlalu begitu saja. Kunjungan wisatawan yang pada tahun 2019 mencapai 16,3 juta, diperkirakan turun tajam menjadi hanya sekitar 5 juta, menurut perkiraan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama. Akibatnya, devisa yang pada tahun lalu mencapai 20 miliar dolar, diperkirakan turun tajam hingga setengahnya. Padahal, pariwisata memberikan kontribusi pada PDB secara nasional hingga 5,5%. Jumlah tenaga kerja di sektor ini mencapai 13 juta orang.
Pandemi juga membuat pola belanja berubah, sehingga membuat peritel pontang panting. Masyarakat lebih mengutamakan belanja barang kebutuhan pokok, dibandingkan kebutuhan sekunder ataupun tersier. Hal itu menyebabkan penjualan barang-barang non-pokok terjerembab selama pandemi ini. Salah satunya adalah penjualan otomotif.
Data Gaikindo secara nasional menunjukkan, penjualan mobil secara ritel pada Mei 2020 hanya sebanyak 17.083 unit. Angka itu berarti turun hingga 30% jika dibandingkan penjualan April 2020 (month to month). Sementara jika dibandingkan Mei 2019 yang mencatat penjualan hingga 94.111 unit, berarti ada penurunan hingga 82%. Untuk total penjualan ritel selama Januari-Mei 2020 sebesar 260.716 unit. Angka itu berarti turun hingga 40% jika dibandingkan penjualan selama Januari-Mei 2019.
Penjualan motor juga tak kalah mengenaskan. Pada April, hanya 123.782 unit motor terjual, anjlok hingga 78% dibandingkan bulan sebelumnya.
Pengangguran & Kemiskinan Membengkak
Lesunya aktivitas ekonomi berimplikasi pada meningkatnya PHK. Apalagi, pandemi yang berkepanjangan membuat perusahaan harus membuat perhitungan matang agar usia hidupnya panjang. Efisiensi adalah salah satu jalan keluarnya. Gojek, Grab, hanyalah dua dari sekian banyak perusahaan yang melakukan PHK, dalam rangka restrukturisasi bisnis untuk menghadapi pandemi. Sebelumnya ada Garuda yang mengumumkan telah merumahkan sekitar 800 karyawannya dengan status tenaga kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) selama tiga bulan terhitung 14 Mei.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mencatat angka jumlah pekerja yang dirumahkan dan di-PHK sudah mencapai 6 juta orang selama masa pandemi ini. Wakil Ketua Umum Kadin Shinta Kamdani mengungkapkan, sebagian besar pekerja tersebut dirumahkan. “Karena pengusaha tidak punya cashflow untuk PHK,” kata Shinta.
Angka berbeda disampaikan Menaker Ida Fauziyah, yang menyebut jumlah pekerja yang terkena PHK selama pandemi sudah mencapai 1,79 juta orang hingga akhir Mei, baik pekerja formal maupun informal. “Kita berusaha menekan angka pengangguran agar tidak tembus 2 digit,” kata Menaker Ida.
Berdasarkan perhitungan Menkeu Sri Mulyani kontraksi ekonomi akan berimplikasi pada bertambahnya pengangguran. Jika ekonomi mengalami kontraksi 0,4%, maka akan ada tambahan pengangguran hingga 5,23 juta orang. Sementara jika ekonomi tumbuh 2,3%, maka tingkat pengangguran bertambah 2,92 juta orang.
Bappenas sendiri memperkirakan pada tahun 2021, tingkat pengangguran bisa mencapai 10,7-12,7 juta orang. Untuk tahun 2020, tingkat pengangguran terbuka (TPT) diprediksi menyentuh angka 8,1% hingga 9,2%. Ini merupakan loncatan dibandingkan TPT pada 2019 di angka 5,28%. Untuk tahun 2021, pemerintah akan mengupayakan TPT di kisaran 7,7% hingga 9,1%. Sebagai perbandingan, pada tahun 2007, TPT mencapai 9,1% dengan jumlah penganggur 10 juta orang.
Pemerintah berjanji akan menekan angka pengangguran dengan sejumlah program seperti pembangunan infrastruktur sederhana untuk padat karya, kewirausahaan, hingga vokasi untuk memperbaiki kualitas tenaga kerja. Program pemulihan ekonomi tahun 2021, menurut Menkeu Sri Mulyani, akan ditujukan untuk mengembalikan momentum penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran.
Di era kelaziman baru, setelah pelonggaran PSBB, pemerintah menggelontorkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai Rp589,65 triliun. Semua program-program ini berpacu dengan cepatnya pertumbuhan angka PHK.
Pandemi juga membuat angka kemiskinan bertambah. Menteri Sosial Juliari P Batubara memperkirakan, angka kemiskinan Indonesia kemungkinan akan bertambah hingga 4% akibat pandemi COVID-19. Dengan demikian, angka kemiskinan pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 13,22%. “Ini kenaikan yang luar biasa,” kata Mensos Juliari, seperti dilansir dari Kompas.
Sementara Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan, selama periode Maret-Mei, terjadi lonjakan angka kemiskinan. Kini, angka kemiskinan sudah mencapai level yang sama seperti tahun 2011. Artinya, semua capaian selama 10 tahun untuk menekan angka kemiskinan berbalik arah dengan cepat akibat pandemi yang baru berlangsung beberapa bulan. (tirto)