Batakpedia.org – Kuliner labar pun perlahan mulai dilupakan orang. Akan tetapi, beberapa komunitas, perkumpulan gereja, suku Simalungun maupun sejumlah rumah makan khas Simalungun masih menyajikan labar ini sebagai salah satu menu andalan.
Setelah dayok nabinatur, makanan khas lainnya dari Simalungun adalah Labar. Kuliner ini berbahan dasar ubi kayu dan daging, khususnya daging yang mengandung tulang lunak atau garap-garap (bahasa Simalungun). Daging yang biasanya digunakan diambil dari punggung ayam, buyut (daging tupai), leto (burung puyuh), dan lingkaboh (kelelawar buah).
Tetapi karena sekarang ini tidak lagi mudah mendapatkan daging tupai, puyuh, dan kelelawar buah, masyarakat di sana kemudian memanfaatkan daging unggas sebagai bahan utamanya. Meski berbahan dasar daging unggas, kuliner ini kontras berbeda dengan dayok nabinatur, baik dari historisnya, cara meraciknya dan segmentasi penikmatnya.
Cara membuat labar terbilang sederhana. Bahan dasar yang diperlukan antara lain, daging ayam, singkong, lengkuas, sereh, kemiri, lada, bawang batak dan ubi (diparut/diserut), serta sikkam. Jika tidak ada ubi, bisa digantikan dengan kelapa parut. Tetapi di masa lalu, nenek moyang hanya memakai ubi, bukan kelapa.
Cara meresepnya tidaklah sulit. Daging ayam yang sudah dibakar kemudian dicincang bersama semua bumbu sampai benar-benar halus. Kemudian daging dan bumbu yang telah halus itu kemudian dicampur/diaduk dengan ubi parut, dengan catatan, setelah ubi diparut, musti diperas supaya kandungan airnya berkurang.
Nah campuran daging, bumbu dan serutan ubi itulah yang dinamakan labar. Labar ini pun sudah siap disajikan untuk disantap dengan nasi putih. Dianjurkan, ketika mencicipi labar , sebaiknya memakai nasi yang tidak dalam keadaan panas, (didinginkan beberapa waktu usai matang ditanak/dimasak) agar cita rasa Labar lebih kentara di mulut.
Jika dayok nabinatur awalnya dipersembahkan kepada raja, Labar justru makanan yang jamak dinikmati masyarakat akar rumput. Historisnya, secara geografis, daerah Simalungun sebagian besar merupakan pegunungan atau dataran yang agak tinggi. Di daerah seperti itu, tentu saja sulit mendapatkan ikan, karena jauh dari danau atau sungai.
Para leluhur yang kala itu hidup berburu, tidak selalu pulang membawa hasil. Sehingga mulai belajar beternak unggas, utamanya ayam. Tetapi ayam pun punya umur untuk bisa dipanen. Maka untuk mendapatkan asupan protein tinggi, para leluhur mengandalkan intuisi guna menemukan makanan alternatif. Terbersitlah ide mengonsumsi umbi-umbian maupun hidu (ulat bambu atau ulat sagu).
Selain dilatari mencukupi kebutuhan protein, alasan lain yang paling masuk akal adalah ketercukupan makanan bagi anggota keluarga. Di masa lalu, nenek moyang orang Batak (termasuk Simalungun) menganut keyakinan “banyak anak, banyak rezeki”. Kehadiran anak diyakini sebagai sumber berkat dari Mulajadi Nabolon (Sang Khalik). Namun konsekuensinya, kehadiran banyak anak berbanding lurus dengan besarnya pengeluaran yang harus ditanggung setiap hari. Di masa lalu, memiliki belasan anak dalam satu keluarga adalah hal biasa. Dan justru dianggap aneh, jika ada keluarga yang punya anak sedikit.
Kuatnya budaya dan kentalnya prinsip “banyak anak, banyak rezeki”, mau atau tidak, memaksa nenek moyang untuk memikirkan dan mencarikan solusi atas persoalan kurangnya bahan makanan. Maka, mulailah leluhur mencoba mencampur sejumlah bahan makanan. Salah satunya adalah dengan memakai ubi.
Ubi cukup mudah ditemukan dan gampang pula ditanam. Budidaya ubi bahkan tidak butuh banyak perhatian dan tenaga. Ibarat kata, batang ubi dilemparkan sembarangan pun masih mungkin tumbuh. Dengan ketersediaan ubi sebagai bahan tambahan makanan, para leluhur tidak lagi pusing kepala untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. Satu ekor ayam dicampur dengan beberapa potong singkong dijadikan Labar, terasa cukup untuk mengenyangkan perut anak-anaknya. Soalnya, di masa lalu, orang hanya memasak sekali dalam sehari. Dan makanan yang dimasak dijatah untuk tiga kali makan, yakni pagi, siang dan malam). Dan makanan itu dibagi oleh belasan anak. Maka, menggunakan ubi sebanyak mungkin untuk bahan labar menjadi masuk akal.
Nah, di masa sekarang, ketika generasi millenial telah memiliki banyak pilihan makanan, ditambah lagi, suksesnya program KB (keluarga berencana) yang dicanangkan pemerintah, sebagai konsekuensinya, kuliner labar pun perlahan mulai dilupakan orang. Akan tetapi, beberapa komunitas, perkumpulan gereja, suku Simalungun maupun sejumlah rumah makan khas Simalungun masih menyajikan labar ini sebagai salah satu menu andalan. Bahkan beberapa lapo tuak yang diusahakan orang Simalungun malah memakai labar sebagai “tambul”, semacam menu pendamping bagi peminum tuak, minuman alkohol tradisional khas Toba.
Dengan historisnya yang panjang sekaligus kecerdasan daya cipta leluhur dalam mengkreasi makanan untuk menjawab persoalan di zamannya, patutlah kita menghargainya. Sebagai bentuk penghargaan yang selayaknya, maka kuliner yang satu ini perlu kita lestarikan. Bahkan kita dorong untuk diakui dan ditetapkan sebagai warisan budaya bukan makanan, khas Simalungun.(indonesia.go.id)