Batakpedia.org–Dahulu, kota Medan berupa rawa-rawa seluas 4.000 Ha dan dikenal sebagai Tanah Deli. Lalu Belanda menguasainya dan mendirikan Gemeente (kotapraja) di bawah Hindia Belanda pada tahun 1909 setelah perlawanan dahsyat dari penduduk lokal. Mereka membangun infrastruktur dengan perencanaan matang dan modern.
Saat itu Medan masih terdiri dari 4 kampung yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sugai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir dan berada di dua aliran sungai yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura. Total total penduduk saat itu sekitar 44 ribu jiwa yang terdiri dari penduduk lokal, Cina, Eropa dan Timur asing lainnya seperti India.
Sejak menguasai kota Medan, Pemerintah Hindia Belanda memposisikan kota itu sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan (ekspor-impor) dan membangunnya sebagai representasi kota besar yang rapi. Rumah dan kantor yang umumnya luas, mereka rencanakan tata letaknya dengan cermat. Juga drainase besar, jaringan listrik, telepon, gas, dan pelabuhan yang memadai kala itu.
Belanda juga tak melupakan konsep kota hijau (the green city) dimana pohon mahoni, kecapi, dan pohon keras lainnya ditanam di jalanan tengah kota. Keteduhan mewarnai Medan masa lalu. Mahoni ditanam sepanjang jalan menuju ke Pelabuhan Belawan yang panjangnya 25 km dari pusat kota.
Alun-alun juga mereka lengkapi dengan pohon-pohon beringin di sekelilingnya dan bernama Esplanade, artinya lapangan yang luas. Ada stasiun kereta api (Deli Spoorweg Matchapij), hotel (Hotel De Boer), bank (The Javashce Bank) dan kantor pos (Post Kantoor).
Pembangunan infrastruktur itu tak lepas dari kebutuhan perusahaan-perusahaan milik Belanda termasuk perkebunan di sekitar Medan. Masa itu, Medan dan wilayah di sekelilingnya merupakan perkebunan. Di samping karet dan kelapa sawit, Belanda juga menanam tembakau Deli yang amat terkenal di Eropa.
Detail perencanaan dan pembangunan kota Medan tak lepas dari keinginan mereka agar kota ini dapat berfungsi baik dan efisien. Untuk itu Belanda juga membangun kompleks toko yang menyediakan kebutuhan masyarakat Medan masa itu yang mudah dijangkau oleh banyak pihak dalam blok-blok yang rapi. Di bawah jalan di tengah kota ditanam riol yang sangat besar, tempat pembuangan air limbah.
Jalur air juga dibangun karena kota Medan berada di dataran yang rendah (DAS Deli) yang menerima air dari tanah Karo yang merupakan daerah pegunungan. Mereka juga tidak lupa membangun Waterleiding (PAM) dimana airnya dapat diminum tanpa dimasak. Mereka bangun juga rumah sakit, pasar, pembangkit listrik dan air bersih dibangun secara terpisah dan berjarak, sehingga tidak terpusat pada satu titik yang bisa memicu kemacetan.
Medan Baru, Hilangnya Keindahan dan Keteduhan Kota
Setelah Indonesia merdeka muncul ide untuk menata kota seperti rancangan gemeente (kotapraja). Sekitar tahun 1950-an dikembangkan wilayah baru Medan yang kemudian dikenal sebagai Medan Baru. Daerah ini awalnya memang terlihat sebagai wilayah yang terinspirasi tata kelola Eropa tetapi seiring berjalannya waktu, daerah Medan Baru lebih sarat dengan visi bisnis. Perkembangan ekonomi daerah dan masyakatnya memang mempengaruhi harapan mereka terhadap kotanya sendiri.
Kini kota Medan yang punya luas 265,10 km2 memang telah berubah, mengikuti perkembangan zaman karena beban yang juga menggunung. Penduduk kota kini sekitar 2,3 juta dan bertambah pada siang hari.
Mayoritas penduduk kota Medan adalah penduduk lokal seperti suku Melayu, Batak, Mandailing, dan Karo. Juga suku Jawa sebagai pendatang terbanyak dan ditambah keturunan India dan Tionghoa. Khusus suku India dan keturunannya, mereka tinggal di sekitar Jl Zainul Arifin atau lebih dikenal sebagai Kampung Keling.
Seiring perkambangan zaman, terjadilah perubahan pola pemukiman kelompok-kelompok etnis di kota Medan. Etnis Melayu yang merupakan penduduk asli kota, kini banyak yang tinggal di pinggir kota. Etnis Tionghoa dan Minangkabau banyak yang tinggal di sekitar pusat-pusat perbelanjaan.
Orang Mandailing memilih tinggal di pinggiran kota yang lebih nyaman, sehingga mereka menjual rumah dan tanah mereka di tengah kota, seperti di Kampung Mesjid, dan Sungai Mati. Bandar Udara Kualanamu yang mengganti fungsi Bandar Udara Polonia yang dibangun jauh dari pusat kota Medan, mewarnai perkembangan kota ini.
Esplanade sebagai paru-paru kota dan tempat jeda bagi sebagian penduduknya melepas penat, sebagian kini sudah berubah menjadi cafe, toko buku bekas dan kantor polisi. Beberapa bangunan baru bermunculan seiring dengan kebutuhan penduduknya. Kini yang terlihat adalah gedung-gedung perkantoran baru yang menjulang, mal, dan hotel yang menyeruak di sela-sela bangunan masa lalu nan indah.
Jadi, jika kita meninggalkan kota Medan dalam beberapa puluh tahun yang lalu, kemudian kini kita kembali ke Medan maka mungkin kita akan kehilangan sesuatu, utamanya kehilangan keindahan dan keteduhan kota terbesar ketiga di Indonesia ini.
Kita hanya bisa bisa menangkap sedikit aura keindahan dan keteduhan Medan di masa lalu, berupa beberapa pohon tua yang tersisa, gedung balai kota lama, kantor pos Medan, menara air dan titi gantung serta gedung London Sumatera (Lonsum). Juga Istana Maimun, Mesjid Raya Medan dan juga rumah Tjong A Fie di kawasan Jl Jenderal Ahmad Yani, Kesawan. Inilah Medan kini. (indonesia.go.id)