Batakpedia.org – Orang yang berasal dari suku ini sangat mudah ditengarai karena memiliki ciri khas yang sudah dikenal oleh seluruh masyarakat Indonesia. Mereka selalu mencantumkan nama keluarga atau marga. Mereka adalah suku Batak.
Menelusuri budaya, sejarah, dan asal mula suku ini, ternyata sangatlah menarik. Walaupun pada mulanya sumber sejarahnya masih sangat terbatas dan masih didominasi oleh peneliti asing, namun kini sudah semakin banyak catatan yang mengulasnya.
Sejarah dalam perspektif Batak
Salah satu sumbangan pengungkapan sejarah Batak yang sangat penting ditulis oleh seorang putra Batak bernama Batara Sangti atau Ompu Buntilan. Ia adalah mantan Bupati Diperbantukan di Sumatera Barat (1961-1974) dan penulis di Harian Sinar Indonesia Baru.
Pada 1977, ia berhasil menyelesaikan penelitiannya kemudian membukukannya dengan judul Sejarah Batak (1977). Buku ini mengungkap sejarah masyarakat Batak, lengkap dengan daftar silsilah serta marga-marga masyarakat Batak.
Di bagian awal buku, Batara Sangti sempat menjelaskan bahwa sebelum orang asing melakukan kajian dan penulisan sejarah Batak, sebenarnya sudah ada catatan-catatan kuno yang ditulis orang Batak.
Tulisan itu berisi kisah budaya Batak dan Dinasti Si Singa Mangaraja. Namun kebanyakan bersifat subyektif dan tidak mencantumkan tarikh atau waktu yang jelas.
Hal itu terjadi karena masyarakat Batak memiliki sistem kalender atau penanggalan yang disebut parhalaan (Indonesia: perkalaan). Perhalaan terdiri dari 12 bulan dengan masing-masing 30 hari.
Penanggalan itu dahulu dibuat berdasarkan perhitungan duduknya bulan dan ilmu perbintangan menurut leluhur orang Batak.
Hanya saja sangat ‘disayangkan’, sistem kalender itu tidak disertai angka-angka tahun dan lebih mengandalkan angka-angka sundut tarombo atau tambo (silsilah).
Akibatnya sangat sukar sekali menentukan kisah tertentu dalam konteks zaman atau berdasar garis waktu. Membandingkannya dengan kalender Masehi maupun kalender lain sangat sulit dilakukan.
Tarombo adalah silsilah atau garis keturunan bersifat patrilineal dalam masyarakat Batak, dan biasanya menggunakan sundut dari Dinasti Tuan Singa Mangaraja I-XII, atau biasa disebut juga dengan istilah Tarikh Dinasti Tuan Singa Mangaraja.
Di setiap kesempatan, orang Batak selalu menggunakan tarombo untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara satu dengan dengan lainnya. Kebiasaan ini dinamakan martarombo.
Tradisi martarombo dangat dipegang teguh oleh masyarakat Batak. Dengan cara itu, mereka bisa mempererat ikatan persaudaraan dan memperluas jaringan pertalian kekeluargaan yang disebut sebagai Dalihan Natolu.
Setiap orang Batak memiliki kesadaran untuk mengharuskan dirinya mengetahui paling sedikit tujuh sundut dari dan ke pribadi masing-masing secara vertikal dan horizontal.
Orang Batak yang tidak mengetahui tarombonya akan dianggap sebagai jolma lilu (orang keliru/ kesasar) yang disamakan dengan orang hatoban (budak/ hamba sahaya) di zaman lampau.
Ternyata, sistem budaya itu terbukti sangat ampuh untuk membangun kedisiplinan dan kontrol sosial dalam sistem hukum adat masyarakat Batak. Antar orang Batak menjadi sangat mengenal asal-usul dan pertalian kekeluargaannya.
Dari generasi ke generasi, orang Batak selalu bangga menyematkan nama keluarganya (marga) sebagai identitas budaya yang mengikat dan mempersatukan mereka. Dan sitem tersebut terus bertahan dan berlaku hingga kini.
Sejarah untuk kepentingan kolonial
Di zaman Kolonialisme pada abad ke-19 sampai abad ke-20, Dalihan Natolu juga menyita perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Tak tanggung-tanggung, untuk menggali budaya tersebut, pemerintah menugaskan beberapa pejabat mengadakan riset.
Mereka yang kemudian melakukan penelitian Dalihan Natolu di antaranya adalah Dr Warneck, Joustra, Kontelir van Dijk, Residen Ypes, Vergouwen, Residen Poortman, Kontelir James dan lain-lain.
Para peneliti asing di era Kolonialisme yang sangat penting adalah Van Dijk (seorang kontelir di Balige sesudah Kontelir Welsink) yang menulis buku Tijdschrift Bataviasche Genootschap (1890) dan Dr J Wanzeck (mula-mula Pendeta di Nainggolan, Pulau Samosir) dengan bukunya Tobabataks Worterboek (1903).
Peneliti lain yang tak kalah penting adalah Residen Ypes karena berhasil membukukan hasil penelitiannya dengan judul Bijdrage tot de kennis van de stamverwantschappen en het grondrecht der Toba-en Dairibataks (1932), dan Demang WM Hutagalung dengan bukunya Pustaha Taringot Tu Tarombo Batak (1926).
Mengapa orang Belanda justru memiliki perhatian melakukan kajian secara ilmiah terhadap masyarakat Batak? Sebab, pemerintah Belanda tidak akan bisa melakukan penyusupan, penundukan, dan pendudukan wilayah Batak tanpa mengetahui urat nadi budaya masyarakat Batak.
Tujuan kedua adalah untuk kepentingan penyebaran agama Kristen (penginjilan). Dengan sistem kekerabatan dan budaya diketahui, penginjilan di negeri Toba bisa berlangsung secara efektif.
Itulah sekilas mengenai betapa luhur dan bagaimana berharganya Dalihan Natolu bagi masyarakat Batak. Ikatan kekerabatan dan persaudaraan menjadi dasar gerak masyarakat Batak dalam mengarungi zaman.
Walaupun tersebar ke seluruh Indonesia atau bahkan ke belahan dunia manapun, mereka tetap akan mampu melacak siapa leluhur (vertikal) dan saudara-saudara dalam keluarga besarnya (horizontal). Mereka tidak akan bisa terpisah atau tersesat. (netralnews)