Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa “negara harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)”.
Melalui putusan tersebut, para penggugat yang terdiri dari Komunitas Marapu di Pulau Sumba, penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara, penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Sumatera Utara, serta penganut kepercayaan Sapto Darmo di Pulau Jawa, berhak untuk mengisi kolom agama pada KTP dan KK sesuai dengan kepercayaan mereka masing-masing.
“Di KTP itu kami mohonkan agar dituliskan kepercayaan. Jadi kami mohonkan kesetaraan atau secara umum dari Sabang dan Merauke untuk kepercayaan. Di dalam kepercayaan itu tercakup semua mau Sapto Dharmo dan segala macam. (Dari) Sabang (sampai) Merauke sama,” kata Arnol Purba, penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak kepada wartawan BBC, Ayomi Amindoni.
Putusan MK menyebut kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk ‘kepercayaan’.
MK juga menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945.
_____________________________________________________________
Pasal 61 (1) KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua.
(2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Dalam putusannya, MK menyatakan adanya kalimat “penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama” membatasi hak atau kemerdekaan warga negara pada agama yang diakui perundang-undangan.
“Konsekuensinya, secara a contrario, tanggung jawab atau kewajiban konstitusional negara untuk menjamin dan melindungi hak atau kemerdekaan warga negara untuk menganut agama…juga terbatas pada warga negara yang menganut agama yang diakui sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
“Hal inilah yang tidak sejalan dengan jiwa UUD 1945 yang secara tegas menjamin bahwa tiap-tiap warga negara merdeka untuk memeluk agama dan kepercayaan dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan itu.”
Sulit mendapat akta kelahiran
Penuturan para penggugat, sebagaimana tertera dalam dokumen MK, menjabarkan bagaimana selama ini anak-anak para penganut kepercayaan “sulit mendapat akta kelahiran” dan para penganut kepercayaan “terpaksa berbohong menulis agama di luar kepercayaannya pada KTP elektronik”.
Dewi Kanti, penganut Sunda Wiwitan, menceritakan pengalaman sulitnya mendaftarkan pernikahan para penganut Sunda Wiwitan.
Banyak juga penghayat kepercayaan yang ‘dipaksa’ untuk memeluk salah satu dari enam agama, agar pernikahan mereka diakui negara. Pernikahan penghayat Sudan Wiwitan yang tidak diakui negara ini berimbas pada anak-anak mereka.
Dalam akta kelahiran anak-anak penghayat Sunda Wiwitan hanya dapat mencantumkan nama ibu, karena dianggap sebagai anak ‘di luar pernikahan’ oleh negara.
Kuasa hukum para penggugat, Julianto Simanjuntak, mengapresiasi putusan MK yang membuat para penganut kepercayaan bisa mengisi kepercayaan mereka pada kolom agama di KTP dan KK.
“Yang jadi masalah ke depan adalah bagaimana tingkat implementasi di dukcapil (Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri). Kita harap dengan putusan MK para aparat pemerintah di manapun berada menghormati putusan MK karena final dan berkekuatan hukum tetap,” tutupnya. [BBC]