Seperti yang sudah pernah dibahas dalam tulisan Marga, Tarombo, dan Tutur, dan Marga dan Hukum Marga dalam Masyarakat Batak , betapa pentingnya tarombo atau silsilah dalam masyarakat Batak. Namun, pada kenyataannya sering terdapat beberapa versi tarombo (perbedaan tarombo) pada hampir setiap marga.
Apa akibat perbedaan/versi tarombo?
Perbedaan ini tidak jarang mengakibatkan sengketa, misalnya: status “sihahaan” (Abang) dalam suatu marga, atau adanya silsilah yang tidak dimasukkan dalam versi tarombo tersebut. Tentu saja masing-masing pihak akan mempertahankan bahwa versi tarombonya yang paling benar.
Tarombo mana yang paling akurat?
Sangat sulit untuk menguji keabsahan tarombo atau versi tarombo mana yang paling akurat. Hal ini disebabkan karena tarombo selalu diturunkan secara lisan. J.C. Vergouwen dalam bukunya “Het rechtsleven der Toba Bataks” terbitan tahun 1933, mengatakan bahwa sistematik tarombo marga-marga pada suku Batak sifatnya spekulatif dan bukti-bukti peninggalan silsilah tarombo (berupa prasasti atau daun lontar) belum pernah diketemukan. Tarombo secara tertulis baru ada setelah abab ke 20.
Ketika terjadi perdebatan atau sengketa mengenai tarombo, bagaimana penyelesaiannya?
Pada jaman dahulu, pengujian keabsahan tarombo dilakukan dengan upacara martonggo, yaitu dengan memanggil sumangot daompung (arwah nenek moyang). Pemanggilan ini dilakukan oleh kumpulan marga tersebut, dibawah pimpinan datu bolon (dukun). Roh tersebut akan merasuk ke salah seorang kerabat (kesurupan) dan akan bercerita tentang dirinya. Cerita ini yang akan dicatat oleh kumpulan marga tersebut dan dijadikan sebagai tarombo.
Jika sengketa ingin diselesaikan secara damai/kekeluargaan, maka kehadiran raja-raja adat (terlebih-lebih raja marga) sangat dibutuhkan. Atau dengan membandingkan tarombo-tarombo tersebut dengan bukti-bukti nyata yang mendukung keabsahan tarombo. Cara inilah yang digunakan saat ini jika terjadi sengketa.
Namun, jika sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan, maka akan terjadi perpecahan diantar marga tersebut. Tidak jarang terjadi pertikaian diantara semarga (dongan tobu/sabutuha). Padahal fungsi marga adalah sebagai landasan pokok dalam masyarakat Batak, mengenai seluruh jenis hubungan antara pribadi dengan pribadi, pribadi dengan golongan, golongan dengan golongan , dan lain-lain. Misalnya, hubungan kekerabatan dalam masyarakat Dalihan Natolu, adat pergaulan sehari-hari, adat hukum, milik, kesusilaan, pemerintahan, dan sebagainya.
Lalu bagaimana solusinya?
Untuk menentukan tarombo mana yang paling sahih diperlukan pengujian dan penelitian yang lebih detail. Pengujian dan penelitian tersebut sangat perlu agar kita bisa meluruskan sejarah (beberapa tarombo mungkin saja dibuat sesuai pesanan seseorang atau sekelompok orang untuk kepentingan dan keuntungan pihaknya). Namun hal ini tentu saja membutuhkan biaya dan waktu yang tidak singkat. Jadi sebelum sebuah tarombo terbukti paling sahih, kita tidak boleh menganggap tarombo versi kitalah yang paling benar. Kita harus menerima perbedaan tersebut. We walk on the same path, but in the different shoes. Diversity is beautiful. Jangan sampai menyebabkan perpecahan yang tentu saja merugikan kita semua. Ingat falsafah hidup Batak dalam tatanan kekerabatan antara sesama, sistem Dalihan Natolu, “Manat mardongantubu“.
Saya ingin bercerita mengenai salah satu kasus perdebatan mengenai tarombo ini. Dalam silsilah Marga Panjaitan, SANTI TUA RADJA atau yang lebih dikenal dengan sebutan Panjaitan Raja Janggut (Tinggal di Lumban Tambak Sitorang) selalu disebut-sebut sebagai siampudan (paling bungsu). Namun Panjaitan Raja Janggut (yang mengetahui tarombo) tidak mengakuinya (termasuk saya sendiri :D). Hal ini bisa dibuktikan bahwa Raja Janggut dan keturunannya tidak ada yang tinggal di huta (bona pasogit/kampung halaman) Marga Panjaitan, bukan panjaga huta tetapi marjalang (merantau). Pada masyarakat Batak, bahwa siampudan (anak bungsu) lah yang tinggal dikampung halaman. Perbedaan tarombo ini berlangsung cukup lama, namun tidak menyebabkan perpecahan. Barulah beberapa tahun belakang ini ada titik cerahnya (tahun tepatnya saya lupa). Raja Janggut ditetapkan sebagai anak ke-3 Situngo Nai Borngin (tinggal di Sitorang). Untuk Tarombo Toga Panjaitan sendiri diluruskan. Radja Panjaitan (tinggal di Matio) memiliki 3 orang ana, yaitu:
- Situngo Nai Borngin (tinggal di Sitorang)
- Matio (tinggal di Matio)
- Dolok Dabolon (Angkola Panjaitan)
Dan Raja Janggut sendiri adalah anak ke-3 Situngo Nai Borngin (tinggal di Sitorang). Mengenai tarombo Panjaitan (marga saya sendiri akan saya tuliskan pada kesempatan lain).
Saya sendiri sedikit mengetahui tentang perdebatan mengenai tarombo ini. Ayahanda, Raja Mardinding V A.J Panjaitan, beberapa kali menjadi penengah dalam perdebatan tarombo. Yang sempat saya catat (sebelum merantau :D) diiantaranya: tarombo PANDJAITAN, SIMANGUNSONG, SIAHAAN
sipeop na godang ndang marlobi-lobi, si peop na otik ndang hurangan.
BATAKPEDIA