Batakpedia.org-Ulos bagi masyarakat Batak, Sumatera Utara adalah salah satu unsur kehangatan selain api dan Matahari. Kehangatan itu menjadi unsur yang memberikan kehidupan bagi manusia. Mangulosi, atau memberi ulos kepada turunan menjadi adat tak terpisahkan dari masyarakat Batak. Namun dalam perkembangannya Ulos menjadi salah satu budaya Indonesia yang terkenal hingga mancanegara.
Lalu, bagaimana kini ulos dapat tetap tumbuh di tengah nilai-nilai sakralnya?
Dalam pameran Ulos bertajuk Ulos, Hangoluan dan Tondi mengisahkan ulos dalam setiap tahap kehidupan.
Supervisor Pameran Ulos, Akbar Maulana, menilai dengan adanya pameran ulos ini masyarakat bisa mengetahui perkembangan ulos itu sendiri. Saat ini, menurutnya, kain ulos sudah terkena sentuhan modern. “Warnanya lebih cerah dan ada sentuhan modern dengan tambahan payet dan sebagainya,” kata Akbar.
Ulos Modern dan Produk Fashion
Payet pada ulos termasuk inovasi baru, namun tetap tidak melanggar pakem. Selain itu kita sebagai orang awam yang bukan berasal dari suku batak pun sulit untuk mengetahui jenis-jenis ulos dan kegunaannya.
Pasalnya, setiap motif, warna, bahan pembuatan mempunyai ciri dan kegunaan tersendiri. Baik itu kain ulos yang akan digunakan saat menyambut kelahiran bayi, mengenakannya dalam keseharian, merayakan pernikahan atau memperingati kematian. Namun ada juga ulos yang tidak bisa sembarang dipakai orang. Bahkan ada ulos yang hanya boleh dipakai oleh orang yang memiliki cucu.
Kini, ulos dapat dijumpai sebagai produk fashion yang apik. Bentuknya tak hanya berbentuk kain, tapi sudah berubah menjadi kemeja, blouse, gaun, hingga berbagai jenis pernak-pernik. “Ulos sebagai fashion banyak mereka padukan bahan-bahannya jadi kemeja,” ungkapnya.
Melfarina Sianipar dari Vany Songket Gallery juga mengakui saat ini ulos sudah menjadi produk fashion. Dia bilang saat ini ulos sudah berpadu dan bisa dijadikan pakain jadi. Ada jenis blongket dengan kisaran harga Rp250-350 ribu, lalu ulos bahan semi sutra yang harganya bisa menyentuh lebih dari Rp1 juta.
Lalu ada ulos sutra liar, di mana ulat yang menghasilkan sutra bukanlah ulat ternak, namun tumbuh liar dan hasil benangnya diburu. “Harganya kisaran Rp 2 juta. Dan ini warnanya mendekati ulos klasik,” katanya. Berbeda dengan koleksi ulos yang ada di pameran, Melfarina menyatakan koleksi sekarang ini lebih cerah ceria dengan motif yang beragam.
“Kalau yang ada di pameran itu sudah masuk barang koleksi, tak bisa dipakai lagi,” ujarnya. Perawatannya pun tak bisa main-main. Ulos berumur puluhan tahun tidak diperbolehkan dicuci karena akan merusak susunan benang.
Dia memaparkan perbedaan ulos klasik ada pada proses pewarnaan yang masih menggunakan pewarna alami, misalnya kulit jengkol untuk warna coklat. Adapun ulos kini sudah menggunakan pewarna pakaian dengan warna-warna yang cerah. Karena itulah, sebagian besar koleksi dalam pameran ulos ini bewarna gelap. Karena warnanya yang alami semakin pudar seiring berjalannya waktu.
Selain itu, ulos kini dipakai dalam banyak momen dengan padu padan jenis kain lainnya. Perbedaan lain, ulos masa kini, menggunakan mesin dalam pembuatan ulos, namun tetap memakai campur tangan penenun. Sedangkan ulos klasik dibuat murni dari tangan penenun. (pesona.travel)