Batakpedia.org-Di Sumatera Utara sebelum kemerdekaan, ada 133 media massa, setengahnya menggunakan bahasa daerah yang terbit dalam periode 1885-1942. Sebagian besar dari media tersebut diterbitkan untuk menggugah rasa kebangsaan menuju Nusantara yang merdeka. Bahasa etnis yang digunakan antara lain Simalungun, Karo, Mandailing, dan Toba.
Tahun 1925, “Sahala Batak” diterbitkan oleh Bataksbond di Jakarta, dipimpin E Harahap dan Johan Siregar, sementara dewan redaksi diketuai Ferdinand Lumban Tobing. ”Sahala Batak” menggunakan bahasa Mandailing dan bahasa Melayu. Tirasnya rata-rata 1.250 exemplar tiap terbit. Sasaran pembacanya adalah pemuda-pemuda Batak, terutama beredar di tiga karesidenan (Sibolga, Tarutung, Mandailing), juga Sumatera Timur dan Aceh.
Pelanggannya ada yang di Batavia, Bandung, Surabaya, Borneo, Sulawesi, dan Nieuw Guine. Tahun 1890 terbit majalah Immanuel yang menjadi tonggak penting dalam sejarah Huria Kristen Batak Protestan, gereja terbesar di Asia Tenggara. Majalah bulanan yang berusia lebih dari seabad ini terbit secara teratur melayani umat dan para pangula (pendeta, penatuan dan sintua).
Sementara Gereja Hatopan Kristen Batak menerbitkan tabloid mingguan “Soeara Batak” yang dipelopori MH Manullang. Media berbahasa Batak ini menggugah gereja HKBP supaya jangan terlalu tergantung pada zending Jerman ketika itu.
Tahun 1926, di Simalungun terbit jurnal bernama “Sinalsal” berbahasa Simalungun, berpangkalan di Pematang Siantar. ”Sinalsal” adalah media lokal yang terutama diperuntukkan bagi ruas atau jemaat Simalungun. Isinya berita-berita tentang Simalungun, artikel-artikel teologia, opini, dan khotbah. Jurnal ini didirikan oleh pendeta J Wismar Sargaih dan B Damanik.
Wismar adalah pendiri Gereja Kristen Protestan Simalungun yang menganjurkan agar Gereja “manjae”atau otonom, berpisah dari gereja induk HKBP. Selain menerbitkan ”Sinalsal,” Wismar juga menyusun kamus bahasa Simalungun. Kamus tersebut disebut-sebut sebagai kamus berbahasa daerah yang pertama yang disusun dan diterbitkan oleh pengarang Indonesia. Selain itu, Wismar juga menerjemahkan Perjanjian Baru dalam bahasa Batak Toba ke dalam bahasa Simalungun, “Padan Na Imbaru.”
Pers daerah yang berbahasa Batak dan tak ada kaitannya dengan gereja tergolong banyak. Tahun 1908, di Tapanuli Tengah terbit surat kabar “Tapanoeli,” yang kemudian bertukar nama menjadi “Selendang Sibolga.” Pemiliknya adalah orang Tionghoa, Lim Boen San. Tahun 1904, Imamanuel Siregar dan Lin Soen Han menerbitkan koran “Binsar Sinondang Batak,” dicetak di Padang, disirkulasikan di Tanah Batak.
Tahun 1914, di Tarutung, Tapanuli Utara, muncul “Partungkoan” dirintis Sutan Sumurung dan M. Amir Hamzah. Di tahun itu juga terbit “Soeara Batak” di Balige yang diterbitkan Gereja Hatopan Kristen Batak, oleh MH Manullang.
Tahun 1929, terbit lagi “Bintang Batak,” dibawah pimpinan PH Siagian gelar Aman Djonggara. Tahun 1928, terbit “Palito” dan “Parbarita Batak.” Bersamaan dengan munculnya ”Bintang Batak,” di Tarutung terbit “Pardomuan Batak” di pimpin Fridolin Panggabean. Kemudian beredar “Persatoean” dengan menggunakan percetakan sendiri. Redaksinya terdiri dari MH Manullang, Sutan Sumurung, dan SM Simandjuntak, didukung oleh Sutan Kumala Bulan yang selalu memakai inisial “Flora” dalam setiap tulisannya.
Pada masa memuncknya Republik Indonesia Sementara (RIS), di Pematang Siantar terbit “Soera Kita,” yang berbahasa Batak Toba, di bawah naungan Urbanus Pardede dan Sulaiman. Walau sebelumnya sudah ada pers daerah berbahasa Indonesia yang terbit di sana. Tak kalah, di Tanah Karo terbit “Senjata Batak” berbahasa Karo, dipimpin oleh Nerus Suka. Dalam bahasa Karo juga terbit media bernama ”Soeara Karo.” Lantas ada pula ”Tjemin Karo,” dipimpin oleh Mbulgak Sitepu. N Sitepu mengelola ”Pandji Karo.” Sementara G Koliat mengendalikan ”Bintang Karo,” ”Perohan Persatoean,” dan ”Semangat Moeda.” Perlu dicatat, “Poesaka Karo” yang dipimpin oleh Marah Udin ditutup karena delik pers.
Dalam perjalanan waktu, hanya sedikit dari pers daerah yang mampu bertahan. Pers Batak memang cukup representatif, tetapi tak bisa bertahan karena tidak memiliki basis pembaca yang kuat.
Di era Orde Baru pernah terbit majalah berbahasa Batak, Maduma, Partungkoan, dan Parhobas. Namun, media yang coba membangun budaya lewat media hanya bertagan beberapa edisi. Yang bertahan cukup lama adalah ”Bona Ni Pinasa.” Media berbahasa Batak (campur Bahasa Indonesia) yang terbit di Jakarta ini sempat 17 tahun melayani pembacanya.
Masyarakat kalak Karo (orang Karo) di Jakarta juga mencoba menerbitkan media berbahasa daerah: tabloid “Sora Mido” yang muncul di Jakarta, pimpinan oleh NJ Sembiring. Sementara tabloid ”Sora Sirulo” terbit di Kaban Jahe. Kedua media tersebut menggunakan bahasa Karo dan Bahasa Indonesia.
Tak dapat disangkal peran pers dalam menjaga pertumbuhan bahasa daerah. Namun, perjalanan zaman telah membuat nasib bahasa daerah cepat atau lambat akan ditelan waktu. Karena tak ada pihak yang memilki keteguhan hati untuk mempertahankannya. Pemerintah juga tidak. Sebenarnya, eksistensi bahasa daerah punyapeluang yang cukup untuk tetap hidup apalagi kalau dilihat adanya ketentuan bahasa daerah masuk dalam kurikulum.
Amat disesalkan, di sekolah dasar hahasa daerah hanya diajarkan sebagai embel-embel kurikulum. Dari bangku sekolah bahasa ibu akan hilang. Lonceng kematiannya sayup-sayup tapi sudah terdengar. Aksara Batak, yang dulu dipelajari, sekarang sudah dilupakan. Keadaan seperti ini sudah tentu menempatkan pers berbahasa daerah tak mungkin hidup, karena tak punya akar untuk bertahan, apalagi terhadap terpaan budaya semesta, hantaman globalisasi.
*Hotman J. Lumban Gaol (Hojot Marluga) adalah seorang jurnalis, dulu menjadi redaktur pelaksana Reformata. Saat ini menggeluti dunia penulisan buku-buku memoar; otobiografi dan biografi.