Oleh: Gurgur Manurung
Ketika saya kuliah di UNRI tahun 1992, orang Batak pertama yang saya kenal adalah Lamhot Silalahi. Lamhot datang dari Lae Parira, Kabupaten Dairi dan saya datang dari Nalela, Porsea, Tobasa. Kami sama sama Batak yang lahir di Desa. Bahasa Indonesia kami khas atau tak mau disebut janggal. Hingga kini, Bahasa Indonesia saya tetap janggal. Karena itulah saya sebut khas atau unik.
Hampir tiap hari pulang kampus kami sama. Bergabung dengan Harnata Simanjuntak, Randolph Willy Hutauruk, almarhum @Raymondus Simanullang dan teman teman yang lain. Pulang kampus menyanyi dengan Harnata Simanjutak. Harnata Simanjuntak juara nyanyi di kampus ketika itu. Randolph Willy pemain gitar yang amat handal. Kadang kualipun ditokok tokok untuk meramaikan suasana.
Masa masa kuliah di kampus amat kami nikmati. Setelah setahun, kami menjadi orang baik baik. Saking baiknya, kami senang membantu adik kelas untuk mendaftar kuliah dan mencarikan tempat kost. Tidak peduli dituding membantu adik kelas karena ada maunya yaitu sedang mencari pacar.
Faktanya, tudingan itu tidak terbukti. Hingga lulus kuliah hingga magister dari IPB saya menjadi pria “suci”. Tak satupun wanita menyentuh relung hatiku. Jangankan relung hatiku, tangankupun tak ada wanita yang bisa menyentuhnya.
Hampir tiap tahun membantu adik kelas cari tempat kost, tetapi tak satupun beruntung yang menaklukkan hatiku.
Lain halnya dengan sahabat saya Lamhot Silalahi. Dia terkapar dengan adik kelas kami @Rotua Sidabutar yang kini menjadi istrinya.
Saya ingat betul, saya dan Lamhot yang carikan tempat kostnnya bersama Melda Sihaloho. Lamhot yang betulin bola lampu di kamar kost mereka. Aku yang pegang pegang tangga agar Lamhot tak jatuh ketika ganti bola lampu.
Tanpa seizin aku, Lamhot diam diam follow up bantuan yang tulus dan ikhlas itu. Tiba tiba saja kulihat mereka pergi ke geraja bareng. Tudingan bahwa mencarikan tempat kost karena ada maunya terbukti. Lalu, saya bertanya, “emang kenapa kalau terbukti?”. Oleh waktu terbukti mereka pasangan yang dikaruniai dua anak.
Dua anak dan karir mereka sangat baik. Lamhot Silalahi menjadi pejabat di Pemkab Dairi dan Rotua Sidabutar guru SMA Negeri di Sidikalang. Jadi, adik adik bantuin carikan kost untuk adik kelas dan kemudian dijadikan pacar, sah demi hukum. Atau, menghindar dari tudingan dan tetap memilih pria “suci” tanpa disentuh wanita semacam saya, sah juga, bukan?. Namanya juga pria ganteng. Pria ganteng memang penuh resiko, bukan?. Pria jelek saja punya resiko.
Tadi siang, kami sangat menikmati makan siang kami. Disuguhi ayam pinadar yang amat enak dan buah nenas. Makanan paling enak dan jumpa sahabat sejati, bahagianya minta ampun. Rotua Sidabutar nampak sangat bahagia dibuat sahabatku Lamhot. Lamhot sangat baik sama mertua, kata Rotua tadi. Mereka berdua saling memuji.
Nostalgialah kami, dititik mana sebetulnya Lamhot mengungkapkan cinta ketika itu.
Selain satu kampus, kami sama aktif di GMKI. Di GMKI sering sama masuk kepanitiaan. Termasuk Kongres Nasional GMKI tahun 1994 yang melawan rezim Orde Baru. Kami terbiasa mengucapkan Ut Omnes Unum Sint ( agar semua satu adanya).
Bertemu makan siang dengan sahabat karib dan adik kelas yang menjadi istrinya, sangatlah berbahagia. Sampai saya agak kikuk dengan caranya menghormati saya. Katanya, saya harus duluan makan daging pinadar itu. Aku memang kental Batakku, tetapi lebih kental Batakanya.
Rotua mendapat telpon anaknya minta diantar les, kamipun salaman berpisah. Pinadar Dairi masih terasa dalam lidah. Pengen rasanya bawa anak-anak dan istri berjumpa keluarga laeku Lamhot Silalahi naburju.
Terima kasih laeku, jamuan makan siangnya. Bahagia melihat lae bahagia di Sidikalang ini.
#gurmanpunyacerita.