Batakpedia.org- Berjalan sekitar tiga tahun, rencana pembangunan kawasan wisata Danau Toba belum menujukkan hasil sesuai yang diharapkan.
Ini sangat dikeluhkan sejumlah pihak karena berbagai program telah dicanangkan termasuk pembentukan institusi Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT)
Melihat belum maksimal diyakini menjadi salah satu alasan untuk membentuk propinsi. Tentu usulan ini memang tidak gampang dan butuh perjuangan, tetapi paling tidak menekan Gubernur Sumatera Utara agar mempercepat pembangunan. Hal ini diutarakan Robert Tua Siregar Ph.D Specialist Development Planning Area.
1. Sistem pembangunan, masyarakat sebagai subyek
Robert, juga selaku Ketua Forum Das Asahan Toba ini menjelaskan, jauh sebelum terbitnya Perpres RI no 49/2016 tentang BOPKPDT atau yang sering disebut BPODT, sudah banyak lembaga telah memprakarsai pemikiran tentang layaknya Danau Toba dikembangkan sebagai destinasi pariwisata nasional. Tidak mudah menerima masukan yang diprakarsai beragama pihak seperti halnya dilakukan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT). Namun setelah memperhatikan berbagai faktor pemerintah mengeluarkan peraturan.
Perpres tentang BPODT memprioritaskan pada tiga hal yaitu Infrastruktur, SDM, dan pelestarian lingkungan hidup ‘dikerjai’ kembali oleh Pemerintah dengan hanya difokuskan pada aspek pariwisata. Sesungguhnya dulu YPDT mendorong Pemerintah agar dalam usulan Perpres diberi ruang kerjasama atau sistem sewa lahan dalam pembangunan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata, tetapi usulan itu dicoret dan diganti dengan penguasaan lahan masyarakat oleh Pemerintah dengan sistem ganti rugi dan isunya bergeser lagi menjadi penguasaan lahan 500 hektar oleh BPODT.
YPDT mengusulkan agar menjadikan masyarakat sebagai subyek dalam pembangungan Danau Toba. Hal itu didasarkan pada masukan warga masyarakat di kawasan Danau Toba, dari tokoh adat, tokoh agama, dan lainnya. Kinerja BPODT berdasarkan Perpres RI No 49/ 2016 tentang BOPKPDT, dijelaskan bahwa BOPKPDT akan mengelola seluruh kegiatan pariwisata Danau Toba melalui penyiapan Rencana Induk dan Rencana Detail Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba.
2. Detail rencana jangka panjang belum diketahui masyarakat
Rencana induk yang dimaksud untuk pengembangan dan pembangunan KDT sebagai kawasan pariwisata Danau Toba jangka waktu 25 tahun, periode 2016-2041, dan Rencana Detail Pengembangan dan Pembangunan 5 tahunan Kawasan Pariwisata Danau Toba.
Rencana Induk dan Rencana Detail Pengembangan dimaksud diusulkan oleh Badan Pelaksana melalui Menpar untuk ditetapkan oleh Menko Maritim selaku Ketua Dewan Pengarah paling lambat 3 bulan sejak Badan Pelaksana terbentuk (Pasal 20 ayat 1 dan 2).
“Namun dalam pengamatan selama kurang-lebih 3 tahun sejak dilantik, 30 November 2016, BPODT tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda memiliki Rencana Induk dan Rencana Detail Pengembangan dimaksud. Walau demikian, kenyataannya masyarakat belum mengetahui seperti apa konsep pembangunan yang direncanakan. Sebaliknya, pada Rabu, 3 April di Ajibata dan Kamis, 4 April 2019 di Sibisa, BPODT justru menolak kehadiran warga masyarakat adat Sibisa dan mengusir warga masyarakat adat Sirait dari Bius Raja Paropat Sigapiton pada acara peresmian the Caldera-Toba Nomadic Escape” ucapnya.
3. Bangun kawasan Danau Toba dengan cara melibatkan masyarakat
Kejadian yang dialami penduduk ini, kata pria yang aktif sebagai dosen STIE Sultan Agung Pematangsiantar, membuat sedih dan patut disesalkan, warga terusir di kampungnya sendiri. Termasuk pihak yang ditokohkan memberi sambutan justru bukan pemilik areal the Caldera-Toba Nomadic Escape, Sirait Par-Sibisa. Bagi Par-Sibisa, sangat memprihatinkan.
“Pendekatan Top-Down” semestinya sudah ditinggalkan pada era ini, dimana hak rakyat dihargai secara patut.
Bangunlah suasana kekeluargaan dalam semangat kemitraan. Pemerintah pertanggungjawab mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Itulah amanat Pancasila dan Undang-Undang Negara RI Tahun 1945. Di Sisi lain pemerintah mesti dengan sungguh-sungguh mengakui tanah milik komunal, milik komunitas adat.
Tidak serta-merta Pemerintah memperlakukannya secara “tidak terhormat”. Ingatlah bahwa penerapan UUD 1945 Pasal 32 dan Pasal 33 mesti dengan cerdas serta bijaksana. (idntimes)