Batakpedia.org–Etnis Batak merupakan salah satu suku bangsa di Nusantara yang kaya akan budaya, salah satunya adalah budaya karya tulis. Budaya tradisi tulis menulis yang diwariskan oleh nenek moyang mereka kesohor dengan nama Pustaha Laklak.
Pustaha ditulis di atas kulit kayu yang dilipat menggunakan mode concertina (semacam akordion) dan terkadang dilengkapi dengan papan. Meskipun bahasa Batak memiliki banyak dialek, akan tetapi bahasa tulis yang digunakan dalam pustaha tetap seragam tanpa mengurangi ciri khas lokalnya.
Di Sumatera Utara (Sumut), setidaknya ada lima jenis aksara yang ditinggalkan nenek moyangnya. Yaitu; Aksara Toba, Aksara Karo, Aksara Mandailing, Aksara Dairi, dan Aksara Simalungun. Peninggalan lima aksara tersebut yang kemudian dijadikan dasar penulisan karya tulis pustaha laklak etnis Batak.
Naskah-naskah Batak pada umumnya ditulis pada tiga jenis bahan: kulit kayu (laklak), bambu, dan tulang kerbau. Putaha Laklak merupakan kitab peniggalan nenek moyang batak yang bertuliskan Aksara Toba. Putaha Laklak yang ada di Sumatera Utara umumnya berisi tentang ilmu-ilmu hitam seperti pangulubalang, tunggal panaluan, pamunu tanduk, gadam, dan lain sebagainya.
Selain itu juga tentang ilmu putih seperti penolak balak dan pagar. Ada juga tentang ilmu nujum seperti meramal dengan menggunakan tanda-tanda binatang dan masih banyak ilmu-ilmu lainnya. Ini dicatat Uli Kozok di karyanya yang berjudul Surat Batak Sejarah Perkembangan Tulisan Batak yang diterbitkan EFEO dan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2009.
Ada juga yang tidak kalah penting ialah rahasia pengobatan tradisional menggunakan ramuan tanaman rempah-rempah. ”Saat ini di Eropa, di belahan dunia sebelah sana, para ilmuwannya sedang melakukan penelitian ilmiah tentang khasiat rempah dan teknik pengobatan ini,” kata Rusmin Tumanggor, antropolog Universitas Indonesia, di acara Jalur Rempah, yang diselenggarakan di Museum Nasional, Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Prosess Pembuatan Pustaha Laklak
Seperti diungkap oleh Churmatin Nasoichan dalam bukunya Media Penulisan Pustaha Laklak, tidak semua orang memiliki kemampuan dalam penulisan pustaha laklak. Ia harus dilakukan dengan ritual yang dipimpin oleh seorang datu dan dilakukan pada hari-hari tertentu. Oleh sebab itu, pustaha laklak merupakan suatu kitab sakral yang pembuatannya seperti halnya membuat objek-objek sakral lainnya semisal patung pangulubalang dan tongkat tunggal panaluan.
Pustaha laklak terbuat dari kertas sebuah pohon yang bernama kayu alim. Kayu ini merupakan salah satu spesies dalam genus Aquilaria yang berasal dari Asia Tenggara, khususnya di hutan hujan tropis baik itu Indonesia, Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, maupun di India Utara.
Di Sumatera Utara, pohon kayu alim dapat dijumpai di daerah Barus Hulu, di sekitar Pardomuan, Kabupaten Dairi dan juga daerah Pulau Raja, Kecamatan Bandar Pulau, serta Kabupaten Asahan. Kulit kayu tersebut dikupas dari pokoknya dalam kupasan yang panjangnya dapat mencapai 7 meter dan lebarnya hingga 60 cm tergantung pada besarnya pohon.
Kulit kayu alim ini diolah menjadi buku yang disebut pustaha yang bentuk dan ukurannya berbeda-beda dan tidak memiliki sampul kayu untuk menjilidnya. Pustaha yang mewah, pada umumnya menggunakan sampul (lampak) yang memiliki ukiran indah.
Pustaha laklak ini dituliskan berlembar-lembar dengan menggunakan tinta hitam. Penulisan yang dibuat berlipat-lipat dan bolak-balik memiliki tujuan untuk memudahkan dalam pembacaannya. Sebuah pustaha atau buku terdiri dari laklak dan lampak. Laklak adalah kertasnya, yaitu lembaran-lembaran sebagai media penulisan, sedangkan lampak adalah sampul bukunya.
Lembaran-lembaran pustaha tersebut berwarna cokelat muda kejinggaan dan terdapat serat-serat halus yang memang menunjukkan bahannya dari kulit kayu. Umumnya kertas-kertas tersebut lebih tebal dibanding dengan kertas-kertas produksi sekarang.
Pustaha laklak ini dapat dijumpai di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara yang tercatat ada lebih dari 200 pustaha laklak yang disimpan, baik itu di ruang tata pamer maupun di ruang koleksi. Selain itu, pustaha laklak juga disimpan di Museum Nasional Jakarta. Ratusan pustaha laklak juga disimpan di museum-museum luar negeri seperti di Belanda dan Jerman. (indonesia.go.id)