Batakpedia.org- Sejarah perjuangan bangsa ini mencatat bahwa tak ada suku di Nusantara yang membiarkan negerinya dijajah, harga diri bangsanya diinjak, dan eksistensi Nusantara diporakporandakan. Dan dari berbagai suku bangsa Indonesia ini, tidak sedikit lahir para pejuang yang gagah berani, para pahlawan. Banyak di antara mereka yang karena jasa perjuangannya dihargai dengan mengangkat mereka menjadi pahlawan nasional.
Namun sayangnya, jauh lebih banyak yang kepahlawanannya tidak dihargai dan diabaikan oleh sejarah. Sejarah seperti melupakannya. Tetapi, sudahlah! Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Dan esai ini tidak mengulas atau memokuskan pada kisah kepahlawanan putra-putra kusuma bangsa dan srikandi-srikandi Nusantara dalam perjuangannya melawan penjajah. Esai ini memokuskan pada kisah heroik para pejuang dari suku Batak dalam melawan penjajah.
Sekelumit Alasan Perlawanan Rakyat Batak
Bangkitnya kesadaran dari para warga di Tanah Batak atau di Tano Batak dalam mengusir para penjajah, tidak lain karena merasa harga dirinya diinjak-injak, dan eksistensi daerah dan negaranya diporakporandakan. Karena penjajahan itu sendiri adalah sebuah pelecehan dari sebuah bangsa terhadap bangsa lain. Dan siapa pun, jelas akan menolaknya. Tidak peduli kalau nyawa sendiri jadi taruhannya. Karena, diyakini bahwa lebih baik mati secara terhormat sebagai pahlawan, ketimbang mati sebagai pengkhianat dan laknat bangsa.
Maka, ketika pemerintah Belanda terus memperluas daerah jajahannya, dengan berkali-kali mengirimkan ekspedisi militernya untuk menaklukkan daerah-daerah di Sumatera Utara atau di Tano Batak, seperti Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Tapanuli, dan sekitarnya, tersulutlah emosi masyarakat Batak untuk memberontak dan mengusirnya.
Emosi masyarakat Batak, menjadi benar-benar tersulut, tatkala Raja Sisingamangaraja X (Tuan na Balon) terbunuh. Raja Sisingamangaraja XII pun serta merta bangkit jiwa patriotismenya, dan tanpa kompromi mengusir Belanda dari daerah kekuasaannya.
Perlawanan Batak yang dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII
Menghadapi perluasan wilayah pendudukan yang dilakukan oleh Belanda, pada bulan Pebruari 1878, Sisingamangaraja XII melancarkan serangan terhadap pos pasukan Belanda di Bahull Batu, dekat Tarutung (Tapanuli Utara). Pertempuran pun meledak dan merebak ke daerah Buntur, Bahal Batu, Balige, Si Borong-Borong, dan Lumban Julu.
Dengan gigih, rakyat setempat berjuang saling baru membahu. Perlu dicatat bahwa perjuangan melawan dan mengusir penjajah dari Tano Batak berlangsung dalam 3 dasawarsa, yang bermula dari Bahul Batu, lalu Humbang, dan kemudian menyebar di seluruh Tano Batak, bahkan sampai Singkil Aceh, ketika Belanda mengerahkan pasukannya sampai ke Singkil Aceh itu.
Pertempuran sengit pertama kali terjadi di Toba Silindung. Masuknya pasukan militer Belanda ke Silindung, segera dijawab oleh Raja Sisingamangaraja XII (Patuan Besar Ompu Pula Batu), pada tahun 1877, dengan pernyataan perang . Dalam menghadapi serangan Belanda, rakyat Batak memiliki dua benteng pertahanan, yakni benteng alam dan benteng buatan. Pertempuran terus menjalar dan berpusat di Bahul Batu, kemudian di Blitar, Lobu Siregar dan Upu ni Srabar.
Pertempuran melawan Belanda yang dilakukan oleh mayarakat Batak di bawah kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII itu dilakukan begitu heroik dengan tekad bahwa harga diri orang-orang Batak, sekaligus eksistensi daerah an bangsa ini tidak boleh dilecehkan dan diinjak-injak oleh pihak asing.
Apalagi, ketika itu, Belanda sudah benar-benar memperluas wilayah jajahannya dengan menjatuhkan sejumlah daerah di Sumatera, pasca kemenangan Belanda dalam Paderi tahun 1837. Lalu, apa yang terjadi adalah Belanda berhasil melumpuhkan perlawanan dan menguasai Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Perlahan Minangkabau jatuh, juga disusul Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus, dan kawasan Sibolga.
Di samping menyerang berbagai daerah di Tano Batak, Belanda juga melancarkan politik Divide et Impera, alias politik menghasut dan memecah belah, sehingga Tano Batak terpecah menjadi dua, yaitu daerah yang telah direbut Belanda menjadi Gubernemen atau disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden” yang dipimpin seorang Residen di Sibolga dan secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang.
Belanda kemudian menguasai Balige untuk memerebut kantong logistik pasukan Raja Sisingamangaraja XII di Toba, untuk selanjutnya mengadakan blockade ke Bakkara. Berikutnya pada 12 Agustus 1883, Bakkara, tempat istana dan markas Raja Sisingamangaraja berhasil direbut sehingga mundur ke Dairi bersama pengikut setia, keluarga, dan para panglima yang terdiri dari beberapa suku Aceh.
Tahun 1883 Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan pasukan Raja Sisingamangaraja XII di hampir seluruh Tano Batak. Raja Sisingamangaraja tidak pernah mau menyerah. Sang raja terus membalas setiap serangan Belanda, termasuk menyerang Belanda di Balige dari Huta Pardede menggunakan armada laut dari Danau Toba.
Sekira 40 kapal perang (solu bolon) yang panjangnya 20 meter menyerang sehingga perang pun pecah. Pada 17 Juni 1907, di pinggir Sungai Ae Sibulbulon, Desa Si Onom Hudon (sekarang perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kapubaten Dairi. Pertempuran sengit terjadi di Bakkara atau Lumbung Raja, yaitu tempat tinggal Raja Sisingamangaraja XII.
Karena terdesak, pasukan Raja Sisingamangaraja XII menyingkir ke Paranginan dan menyingkir lagi ke Lintung ni Huta. Lalu, terjadilah berbagai peristiwa dengan kejatuhan daerah-daerah di Tano Batak dalam kekuasaan Belanda, seperti Tambunan, Lagu Boti, Balige, Onang geang-geang, Pakik Sabungan, dan Pitu Besi. Dan daerah belum berhasil ditaklukkan Belanda di Tano Batak, yang kemudian disebut Tanah Batak Merdeka adalah wilayah, Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, dan Samosir.
Sampai abad ke-19, Raja Sisingamangaraja XII masih giat melakukan perlawanan, meski usianya sudah di atas 100 tahun. Tatapi karena keunggulan persenjataan yang dimiliki Belanda, membuat terus melemahnya perlawanan yang digalakkan Raja Sisingamangaraja XII. Daerah-daerah gerak Raja Sisingamangaraja XII pun semakin kecil dan berkurang.
Berakhirnya perlawanan
Pada Juni 1907, Raja Sisingamangaraja semakin terkepung oleh Belanda. Dalam keadaan yang lemah, Raja Sisingamangaraja bersama putra-putrinya dan pengikutnya mengadakan perlawanan. Di ujung perlawanan itu, seorang putri Raja Sisingamangaraja, Lapian, serta dua putranya, Sultan Nagari dan Patuan Anggi, gugur.
Dengan sisa kekuatan terakhir, ia menyerang serdadu kompeni itu dengan rencongnya. Tetapi sebelum rencong dapat mengenai sasaran, ia telah roboh ditembak serdadu marsose. Alkisah, Raja Sisingamangaraja XII sebenarnya kebal peluru, namun karena tubuhnya terpecik darah putrinya, Lapian, maka Raja Sisingamangaraja pun gugur bersama keluarganya.
Kisah itu berakhir dengan tertangkapnya hampir seluruh anggota keluarga Raja Sisingamangaraja XII termasuk Boru Situmorang (ibu Raja Sisingamangaraja XII), Boru Sagala (istri Raja Sisingamangaraja XII, dan putra-putrinya yang masih kecil, yaitu Raja Buntal, dan Pangkilim. (netralnews)