Batakpedia.org– Sejak dahulu kala, ternyata nenek moyang orang Batak telah mengetahui perkiraan waktu dan rasi bintang, sebagaimana halnya dengan bangsa Yunani dan bangsa Tiongkok. Kelahiran seseorang dikatakan ’Masiboan Porda na do tu langgu ni sasabi, masiboan bagianna do tu si ulu balang ari’. Inilah hasil penelusuran Dr Sudung Parlindungan Lumbantobing soal astrologi di Tanah Batak.
Ditemui di Kantor Radio Suara Anugerah (Rasurah) milik Pemkab Tapteng di Pandan, beberapa waktu lalu, Dr Sudung Parlindungan Lumbantobing nampak masih segar dan energik. Padahal, usianya sudah 70-an tahun. Bincang-bincang soal astrologi di Tanah Batak, mantan Kepala Stasiun RRI di berbagai kota ini mengatakan, dirinya tidaklah piawai.
”Saya hanya menelusuri dan mencoba menjelajahi pemikiran orang Batak dulu, khususnya para Datu bidang astrologi Batak di sepanjang Pantai Barat, Pantai Timur, serta pedalaman Tanah Batak,” katanya dengan nada merendah.
Dari hasil penelusuran tokoh yang sering memakai nama samaran Mamak Sulto ini, ada strata ilmuwan Batak. Stratifikasi intelektual atau tingkatan cendekiawan dalam susunan masyarakat Batak dahulu terdiri dari Guru, kemudian Datu, dan terakhir Ompung atau Ompu.
”Predikat Keguruan seseorang diperoleh dari pengamatan dan penelitiannya, kemudian mengajarkan kepada para Datu. Seorang Datu dipercaya sebagai manusia yang sarat dengan pengalaman, perguruan, maupun ilham yang diperoleh. Sedang Ompu diakui otoritas dan kebenaran kata-katanya, pengaruhnya terutama kepada keturunan dan generasi di belakangnya,” kata Dr Sudung. Jumlah Guru lebih sedikit, sedang jumlah Datu lebih banyak.
Beberapa Guru yang populer abad ke-16 di kalangan orang Batak antara lain Guru Tinandangan, Guru Hatia Bulan, Guru Ramiti, Guru Mangaloksa, Guru Manomba Bisa, Guru Patimpus, Guru Sananga Diaji, Guru Humundul, Guru Tatea Bulan, Guru Somalaing, dan beberapa lagi.
Sedangkan para Datu terdapat pada setiap induk marga, di antaranya Datu Pulungan, Datu Dalu, Datu Parmanuk Holing, Datu Mallatang Malliting, Datu Boru Sibaso Bolon, Datu Horbo Marpaung, Datu Jolma So Begu, Datu Parpansa Ginjang, dan lainnya. ”Ada juga Datu yang dibangkitkan menjadi Guru, sehingga memperoleh kedua predikat kebolehan itu,” kata Dr Sudung yang juga mantan wartawan ini.
Semua sumber ilmu pengetahuan guru dalam buku (pustaha) berawal dari Mulajadi Nabolon, yang mereka tulis sendiri dan ditambah hasil penemuan dan pengalaman baru. Ilmu itu diajarkan terbatas kepada para muridnya, terutama pada Datu. Juga ditulis dalam Buku Pustaha masing-masing guru. Salahsatu buku penting menyangkut ’Tingki’ (waktu), yang disebut parhalaan.
”Hampir semua guru memilikinya, dan juga digunakan para Datu setiap kerajaan. Terakhir, banyak para guru menyalinnya dan diberikan kepada para ’Datu’ untuk digunakan,” jelas Dr Sudung.
Mencermati berbagai sumber terutama dari bagian buku Pustaha, tulisan orang-orang Eropah/laporan mereka serta keterangan para orangtua, kesadaran orang Batak tentang Tingki (masa atau waktu) sudah sangat tinggi.
”Tingki atau waktu dalam satu hari pada awalnya terdiri dari 5 fase,”jelas Dr Sudung, yakni Sogot, kemudian menjadi Pangului, selanjutnya Hos, kemudian Guling, dan terakhir Bot. Setelah disadari pembagian itu hanya terjadi di siang hari, maka guru lainnya mencatat waktu malam, yakni samon, sampinodom, tonga, tahuak manuk, dan terakhir torang. Begitulah sirkulasi seterusnya kembali sogot, pangului, hos, guling, bot, samon, Sampinodom, tonga, tahuak manuk, dan torang.
Terakhir para Guru dan Datu Jenius mengadakan pertemuan dan menyepakati, satu hari adalah 24 jam. Dan untuk siang hari, pembagian waktunya yakni Binsar mataniari pukul 6, Pangului pukul 7, Tarbakta pukul 8, Tarbakta Raja pukul 9, Sagang pukul 10, Humara Hos pukul 11, Hos Ari pukul 12, Guling pukul 13, Guling pukul 14, Dua Gala pukul 15, Sagala pukul 16, dan Bot Ari pukul 17.
Kemudian untuk malam hari dibagi sebagai berikut, Sundut Mataniari pukul 18, Samon pukul pukul 19, Hatiha Mangan pukul 20, Tungkap Hudon pukul 21, Sampinodom pukul 22, Sampinodom na bagas pukul 23, Tonga Borngin pukul 24, Haroro ni Panangko pukul 1, Tahuak Manuk Sahali pukul 2, Tahuak Manuk Paduahon pukul 3, Buha-buha Ijuk pukul 4, Torang Ari pukul 5.
”Dari pengamatan berikutnya, perbedaan antara hari demi hari disebut dalam istilah perkiraan 1 minggu, sebagaimana terdapat pada kalender Julian,” kata Dr Sudung. Hari Minggu disebut orang Batak Artia. Senin dinamai Suma, Selasa dinamai Anggara, Rabu disebut Muda, Kamis dinamai Boraspati, Jumat disebut Singkora, dan Sabtu disebut Samisara.
Uniknya, kata Dr Sudung lagi, kalau bangsa-bangsa lain memberi nama hari untuk setiap minggu itu sama, maka orang Batak, dari pengamatan dan pengalamannya, hari demi hari dalam setiap minggu ada perubahan. Karena itu, meski dasar-dasar hari itu sama, namun pada minggu kedua, nama hari berubah. Misalnya, hari Minggu pada minggu kedua dinamai Artia ini Aek, Senin disebut Suma Mangodap, Selasa dinamai Anggara Sampulu, dan seterusnya.
Yang istimewa, para Guru Batak zaman dulu menyadari bahwa setiap tanggal 15 pertengahan bulan adalah Bulan Purnama. Sehingga setiap hari tanggal pertengahan bulan tetap nama harinya, yakni dinamakan Tula. ”Mereka telah menyadari, bahwa rata-rata setiap bulan terdiri dari 4 minggu, dengan setiap hari diberi nama dengan 30 nama hari, dan ada 12 bulan dalam setahun. Mereka juga menyadari adanya tahun kabisat,” jelasnya.
Pengalaman mereka, dari 30 tahun ada 19 kali menggunakan Parhalaan dengan perkiraan hari 354 hari dalam setahun, dan 11 kali dalam 30 tahun menggunakan hari 355. Sehingga dalam penggunaan Parhalaan, dipakai adanya bulan 13 untuk penetapan hari/bulan/tahun. Dengan Parhalaan 2 jenis, yaitu satu yang bulannya 12 satu tahun, dan satu lagi untuk tahun kabisat dengan perkiraan bulan ke-13 dari 30 tahun itu. Sedang rata-rata seluruh bulan tetap dihitung 30 hari.
Perhitungan tahun Batak atau permulaan Tahun Batak dimulai saat terbenamnya Bintang Orion di ufuk Barat, atau saat terbitnya Bintang Scorpio (Hala) di langit sebelah Timur. ”Dengan demikian, tergambar hubungan Bulan-Bintang-Bumi, dan Matahari dengan manusia yang menghuni bumi,” jelasnya.
Para Guru dan Datu Batak juga menyadari perubahan musim kemarau dan musim penghujan serta musim pancaroba (peralihan). Itulah yang menjadi dasar dan pedoman untuk melakukan penanaman padi, penangkapan ikan, perburuan, maupun peperangan, serta pengaruh terhadap kesehatan dan penyakit. (bersambung)(netralnews)