Batakpedia.org– ‘Paulak Une’, Tahapan Perkawinan Adat Batak yang Kehilangan Makna
Setiap adat Batak itu sesungguhnya memiliki makna yang sangat dalam. Semua itu dapat kita pahami jika mengetahui filosofi, histori atau latar belakang lahirnya adat tersebut.
Jika kita salah memahaminya maka adat itu akan kehilangan makna dan roh yang terkandung di dalamnya. Pemahaman yang salah seperti inilah sering muncul sehingga banyak orang Batak kurang merasakan makna adat itu dan melihatnya sebagai seremonial belaka.
Dari seluruh jenis adat Batak yang masih tetap eksis dilaksanakan salah satunya adalah adat Paulak Une. Pelaksanaan adat itu dewasa ini, selalu dipaketkan dalam adat “Ulaon sadari “ yang pelaksanaannya dicantolkan pada ujung acara perkawinan.
Secara harafiah, Paulak Une berarti mengembalikan (paulak) benda/jimat (une).Tetapi jika une diartikan kata sifat, maka paulak une adalah “mengembalikan yang kurang baik/une agar kembali baik/une”.
Maka perlu dikaji pengertian une itu lebih seksama. Sebab pengertian une yang berbeda akan menimbulkan pemahaman yang berbeda atas makna adat Paulak Une itu.
Jika une dipahami sebuah benda maka Paulak Une adalah mengembalikan sesuatu barang, tetapi jika une dipahami sebuah kata sifat, maka Paulak Une adalah adat mengembalikan sesuatu yang kurang baik dalam pelaksanaan adat sebelumnya agar kembali menjadi baik/une.
Pertama : jika kata une adalah sebuah benda/jimat yang dipakai gadis agar kesuciannya tidak terganggu sebelum dia menikah secara sah (seperti pemahaman sebagian orang Batak), maka setelah adat perkawinan dilaksanakan, pihak suami akan berangkat dengan istri mengembalikan jimat/une tersebut kepada pihak mertuanya.
Sekaligus memberi isyarat bahwa boru-nya masih une (suci/perawan). Inilah yang disebut Paulak Une versi pemahaman pertama.
Lalu bagaimana versi kedua?
Kedua : jika kata une sebagai kata sifat yang berarti ”baik”. Berarti Paulak Une adalah memperbaiki yang terjadi kurang baik agar lebih baik kembali. Biasanya hal seperti ini terjadi jika adat perkawinan dilakukan di tempat pihak suami (ditaruhon jual) dimana pihak parboru bisa saja merasa kurang pas pada pelaksanaan dan pembagian “jambar” di tempat paranak.
Maka karena itu beberapa hari kemudian paranak pergi paulak une ke tempat parboru agar kekurangan sebelumnya dapat diperbaiki dan tidak ada ganjalan lagi. Tetapi jika adat dilaksanakan di tempat parboru (dialap jual), maka adat Paulak Une diganti dengan adat Mebat-ebat /Mebat/Mangebati.
Jika pemahaman pertama sebagai pijakan adat Paulak Une, maka pasangan yang menikah secara Kristen misalnya, maka adat Paulak Une tidak berdasar lagi dilaksanakan. Sebab hukum Perkawinan Kristen adalah “apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia” (suci/perawan atau tidak. Une atau tidak une lagi).
Bila pemahamannya adalah yang kedua, adat Paulak Une masih relevan dan pantas dilaksanakan tetapi dengan mengubah waktu pelaksanaannya pada beberapa hari atau minggu setelah adat perkawinan dilaksanakan sekaligus mengawali kunjungan silahturahmi keluarga suami kepada keluarga istri.
Tidak seperti saat ini diselipkan pada akhir adat perkawinan, di mana proses adat Paulak Une itu dilakukan terburu-buru, asal jadi, layaknya seperti dua pihak saling berganti kartu nama dalam formalitas dan seremonial semu tanpa makna. (hitabatak)