Sudah sepantasnya mendapat prestise sebagai monumen geologi terbuka terbesar dunia. Anehnya alih-alih mendapat gelar kehormatan pusat ilmu pengetahuan geologi, Danau Toba (DT) hingga kini dalam peta eksploitasi luar dalamnya. Sementara masyarakat yang menjaganya hidup miskin.
Minimnya informasi dokumentasi yang merekam peristiwa meletusnya Gunung Toba supervulkano itu menjadi buktinya. Sarana dan prasarana yang tak memadai, pusat informasi dan infrastruktur masih sekedar omongan yang entah kapan terimplementasi.
Danau Toba dan pulau Samosir yang dikelilingi kaldera terluas di dunia terbentuk hasil meletusnya Gunung Toba supervulcano raksasa sekitar 74.000 tahun lalu (Youngest Toba Tuff), merekat letusan sebelumnya sekitar 501.000 tahun lalu (Middle Toba Tuff), dan sekitar 840. 000 tahun lalu (Oldest Toba Tuff). Ketiganya, membentuk kaldera, yaitu Kaldera Sibandang, Haranggaol dan Porsea.
Jejak ketiga letusan Toba inilah yang kini terus dipelajari dan diteliti. Sintesa bahwa Toba pernah menjadi episentrum peradaban dunia semakin nyata. Sekarang tantangannya adalah bagaimana mengembalikan peradaban Toba yang mendunia itu.
Dalam kerangka itu, Tim Earth Society for Danau Toba (ES) bersama Budayawan FIB USU dan IAGI Sumut telah melakukan fill trip, “Ekspedisi Toba-Bakkara,” melihat jejak letusan kaldera Porsea dan berakhir di Bakkara, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbahas.
Sebelumnya, telah dilakukan diskusi dan talk show interaktif berthema, “Danau Toba Menuju Geopark,” yang diselenggarakan Komunitas ES, pada 14 Mei lalu hasil kerja sama dengan Sindo Radio di Hotel Tiara, Medan. Hal ini adalah bagian dari respons masyarakat sipil mengawal penetapan label Geopark (Taman bumi) untuk Kawasan Danau Toba. Diskusi yang kali pertama diumbar ke publik ini menyimpulkan bahwa Danau Toba sesungguhnya sebagai pusat ilmu bumi dunia.
Singkapan batuan berumur 300 juta tahun lalu yaitu batu slate pada masa Paleozoikum, yang masuk formasi Bahorok ditemukan di kaldera Toba. Pun batu kars formasi Sibaganding berumur sekitar 250 juta tahun lalu dalam urutan masa Mesozoikum. Jejak letusan Gunung Toba supervulkano, jilid 1,2 dan 3 yang terdeteksi masih menyimpan rahasia sarat makna.
Sampai sekarang masih susah diterima akal, bebatuan berumur ratusan juta tahun yang setiap hari dilewati warga disekitarnya adalah hasil letusan gunung api raksasa Toba. Warga maupun wisatawan yang berkunjung ke DT umumnya tak mengetahui bahwa batu-batu ini memiliki nilai sejarah peristiwa geologi penting.
Kawasan Danau Toba (KDT) sebagai warisan dunia, bukan (lagi) pemeo yang selama ini kita tahu lebih kencang mendapat tekanan fisik maupun psikis dibanding konservasi dan pemeliharaannya. Kini pemahaman publik tentang Danau Toba (DT) semakin tinggi: kunci pembentukan sejarah bumi ini berasal dari Toba.
Melihat panorama DT saat ini tak lagi hanya pemandangan keindahan semata, tapi jauh lebih bermakna. Fenomena geologi, bebatuan dan fosil, keanekaragaman hayati beserta kearifan lokal masyarakat sekitarnya menjadi pusat perhatian dunia. Karena keanekaragaman geologinya, Pemerintah pusat dan daerah sudah tidak saatnya suam-suam kuku mengembangkan DT serta melindungi DT dari tindakan eksploitatif.
Dengan demikian DT bahkan sangat berkesempatan masuk dalam jaringan Geopark dunia dibawah label UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization), yang disejajarkan bersama Geopark di seluruh dunia.
Ketika Professor Ibrahim Komoo beserta anggota Tim dari Unesco datang mensurvei objek-objek geologi di DT, 21 Maret lalu, pada keheranan melihat landskap kaldera Toba yang ternyata dari segi keunikan geologi jauh melebihi Langkawi Geopark Malasya. Geolog Komoo mengatakan KDT sangat layak masuk dalam jaringan geopark dunia. Dia menyarankan supaya Geopark Toba berhasil ditetapkan Unesco, perlu ada pendokumentasian informasi geologi Toba, supaya bisa ditampilkan diberbagai kesempatan.
Persiapan Sosial
Geopark bukanlah sesuatu yang mau diciptakan di DT. Geopark juga bukan berarti milik sebuah kabupaten di KDT. Tapi fakta bahwa DT adalah taman bumi berskala internasional. Boleh dibilang, Geopark hanya istilah yang kemudian diikuti dengan konsep manajemen, dimana unsur utamanya adalah konservasi, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Menurut situs resmi UNESCO ada 87 geopark di dunia yang tersebar di 27 negara, dari jumlah ini belum satupun dari Indonesia. Malasya menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang punya Geopark, yaitu Langkawi Geopark, disusul Vietnam yang punya Dong Van Karst Plateau Global Geopark, di Propinsi timur laut Vietnam.
Pemberitaan di beberapa Media selama ini seperti, bahwa Samosir akan bangun Geopark, (Analisa, 14/6) kurang tepat. Pernyataan Bupati Samosir, Mangindar Simbolon, “Mendirikan Geopark di Samosir,” juga terasa parsial. Bukan mendirikan atau membangun tetapi mengusulkan Geopark “Toba.” Artiannya, KDT sejak lama sebenarnya sudah kawasan taman geologi.
Memang, sejauh ini Pemkab Samosir yang paling inisiatif dan aktif mengikuti dan mempersiapkan usulan Geopark Toba, menyediakan lahan etalase di Sigulatti, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir. Namun bukan berarti hanya Kabupaten Samosir wilayah Geopark Toba, tetapi ke-7 kabupaten KDT, Kabupaten Samosir, Simalungun, Karo, Dairi, Humbahas, Taput dan Tobasa.
Para Pemda KDT sudah seharusnya proaktif dan inisiatif membuat kajian-kajian ilmiah tentang geologi, pengembangan kreatifitas masyarakat lokal: menumbuh kembangkan paradigma masyarakat bahwa DT adalah warisan dunia. Lalu, sama-sama menjaga dan hidup berdampingan dengan alam DT. Meningkatkan sense of belonging serta merevitalisasi kearifan lokal.
Mengutip percakapan dengan Indyo Pratomo ahli Geologi dari Museum Geologi Bandung, ketika berdiskusi di Hotel Danau Toba, 14 Juli lalu, mengatakan Geopark hanya konsep manajemen sistem sebuah kawasan yang berbasis pada geo-diversity, (keanekaragaman geologi), cultural heritage (warisan budaya) dan bio-diversity (keanekaragaman hayati), tidak terlepas dari suatu tempat.
“Jadi, persepsi dulu yang harus dibangun, setiap tempat beda keunikan geologinya, karena kondisi alam dan budayanya berbeda, hal inilah yang harus dihargai, mengangkat nilai-nilai. Tak harus memakai konsep geopark pun bisa, asalkan kearifan lokal masyarakat bisa menjaga dan mengenal ini,” ucap Indyo didampingi Gagarin Sembiring, geolog yang juga ketua IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) wilayah Sumut meluruskan pemahaman mengenai Geopark.
Jalan baru yang lebih memikirkan perdamaian dengan alam, ekonomi, sosial dan ekologi kawasan itulah yang harus diperjuangkan. DT khususnya sudah lama teragredasi oleh aktifitas korporasi eksploitatif yang bukan saja merusak lura dalam alam KDT tapi juga sosio kulturalnya. Rasa percaya diri masyarakat lokal, yaitu kearifan lokal menjadi nilai yang sangat bernilai tinggi.
Akhirnya mari kita mulai, semua pihak turut andil, ini adalah awal belajar secara filosofi tentang nilai alam dan budaya yang kita miliki, bukan soal nama Geopark tetapi esensi yang harus dibangun, mengenal daerahnya, menjaga serta memelihara alamnya, masyarakat mendapat manfaat, lalu hidup sejahtera di kawasan.*.
sumber : http://www.analisadaily.com/news/read/2012/08/06/67120/mengawal_dukungan_geopark_toba
sipeop na godang ndang marlobi-lobi, si peop na otik ndang hurangan.
BATAKPEDIA