Huta bukan desa atau kampung dalam arti sekarang. Huta adalah persekutuan hukum dan adat terkecil. Ia dikelilingi oleh tembok batu (tano bato) yang ditanami bambu. Untuk lebih jelas mengerti apakah sebenarnya ‘huta’ mari kita simak lukisan yang dituturkan oleh J.C Vergouwen, seorang sarjana peneliti hukum dan adat Batak Toba:
Wilayah huta adalah suatu lapangan kecil berbentuk empat persegi dengan halaman bagus, keras dan kosong ditengahnya–tengahnya. Disatu sisi empat bidang persegi itu berdiri sekelompok kecil rumah-rumah (ruma) berbaris; masing-masing rumah memiliki pekarangan dapur sendiri di bagian belakang . Didepan barisan rumah ada lumbung padi (sopo), dan biasanya ada satu dua kubangan lumpur. Keseluruhannya dikelilingi pohon bambu yang tinggi; kadang-kadang ada juga sebuah huta dengan parit mengelilingi. Kita akan jumpai babi menggerus-gerus tanah dibawah kolong rumah, anjing mengendus-endus disekitar, ayam yang mengais-ngais tanah, dan kucing yang tidur dibawah sinar matahari. Seorang perempuan duduk menghadapi alat tenunnya didepan salah satu rumah, sementara seorang gadis muda menumbuk padi dalam losung, dan beberapa anak bermain-main dibawah rumpun kecil pohon buah-buahan.
Lukisan Vergouwen diatas sangat mengesankan. Tampak adanya kehidupan suatu kelompok/kesatuan terkecil masyarakat Toba yang mampu mengatur dirinya sendiri. Didalam rumah tinggal beberapa keluarga dengan anak-anak mereka. Kalau anak-anak perempuan mulai beranjak dewasa maka si gadis akan tinggal di sopo. Huta dipimpin oleh ‘Raja huta’ keturunan dari marga pionir pendiri huta (marga raja atau partano). Bisa terjadi marga raja itu membawa juga boru nya (pengambil istri marga raja) bersama-sama mendirikan huta itu dahulu (rap manombang) sehingga ia adalah juga Raja Huta dan bagian dari pemilik huta. Terbuka peluang orang luar yang datang kemudian menjadi warga, dan diberi hak garap atas sebidang lahan pertanian karena mengawini putri dari marga raja/partano. Ia disebut ‘parripe’, pendatang yang diberi status marga boru. Demikian setiap pendatang selalu berstatus marga boru sehingga mendapat status sebagai warga sesuai prinsip dalihan natolu. Karena warga huta semakin banyak sehingga tidak tertampung lagi maka dibuka huta yang baru sebagai cabang dari huta induk, yang kalau saatnya mandiri akan mempunyai raja huta sebagai pemimpin.
Raja huta menyelesaikan masalah-masalah (kecil) antar keluarga warga huta, membagi lahan garapan bagi keluarga-keluarga, menyelenggarakan perkawinan dengan warga dari huta lain, mewakili huta keluar dsb. Status Raja huta turun-temurun kepada anak sulung. Ia adalah pengayom adat, hak ulayat (golat) dan pemimpin sekuler (soal-soal duniawi).
Beberapa huta yang berdekatan dengan marga berbeda tetapi mempunyai pertalian merupakan bagian dari perhimpunan ‘horja’. Biasanya satu horja terdiri dari 10 sampai 15 huta, tergantung keadaan setempat. Harus dimengerti bahwa horja memiliki dua arti, pertama adalah sebagai bagian dari bius, kedua adalah pesta marga. Yang masih mungkin dapat kita dengar sekarang adalah horja dalam pengertian kedua. Sedang makna horja dalam kaitan dengan bius sudah lenyap.
Dalam arti pertama, horja adalah perpanjangan tangan bius sebagai lembaga tertinggi, dalam arti kedua horja menggelar upacara pemujaan leluhur marga. Pesta marga juga memerlukan restu dari bius dalam suatu acara musyawarah yang disebut ‘tonggo raja’. Dewan bius diundang dan menentukan hari yang tepat untuk pesta. Tidak boleh harinya bersamaan dengan pesta lain. Dalam pesta diselenggarakan tarian ‘tunggal panaluan’, tongkat sakti simbol milik marga, untuk mengundang roh leluhur yang disebut ‘horja santi’. Untuk mengundang roh leluhur maka diundang seorang datu yang sudah menjadi keahliannya, dengan membayar upah. Datu adalah seorang profesional yang dibayar. Selain pesta horja pemujaan leluhur ada lagi pesta horja rea (pesta besar) yang dipimpin oleh parbaringin.
Melalui proses pemilihan ataupun spontanitas warga maka Horja akan menempatkan beberapa raja huta sebagai wakilnya pada dewan pemerintahan sekuler bius . Raja huta nantinya menjadi elit politik bius yang memilih diantara mereka sebagai dewan bius dan duduk didalamnya. Raja huta setelah bermusyawarah dengan warga huta lalu mengambil keputusan. Keputusannya harus selalu dapat dipertanggung jawabkan kepada Horja dan juga kepada dewan bius sekuler. Berikutnya dewan sekuler tersebut menentukan wakil-wakilnya sebagai pendeta-pendeta yaitu kelompok Parbaringin dalam bius yang bersangkutan. Maka dikenal perumpamaan “huta do mula ni horja, horja mula ni bius” artinya huta membentuk horja, horja membentuk bius.
Menurut Sitor Situmorang, berdasarkan kelengkapan organisasi aparatnya, bius dapat kita golongkan tiga jenis:
1. Bius tua/lengkap
Bius seperti ini dapat ditemukan di pantai barat, pantai selatan danau Toba dan di Samosir yang dipandang sebagai asal kebudayaan Toba. Disini ada dewan pemimpin (kolegial) bius yang membawahi beberapa horja sebagai bagian bius yang berwenang mengelola golat (hak ulayat), horja membawahi puluhan huta. Struktur pemerintahan inilah bentuk ideal yang selalu diusahakan diwujudkan menurut model Sianjur Mula-mula. Kondisi disekitar tepi danau memungkinkan untuk itu. Seperti halnya model Sianjur Mula-mula bius tua mempunyai organisasi parbaringin yang sifatnya turun-temurun dan tetap. Parbaringin bertugas mengatur jadwal bercocok tanam, mengatur kegiatan pemeliharaan irigasi (bondar), pemekaran wilayah persawahan baru dll
2. Bius sedang berkembang
Perkembangan migrasi dari daerah asal disekitar danau membentuk bius-bius baru ke dataran tinggi selatan danau dan barat (Humbang, Silindung, Pahae). Kepemimpinan bius masih kolegial, tetapi parbaringin tidak selalu ditemukan disini, dan sekiranya ada tidak selengkap di daerah bius tua. Oleh karena itu fungsi pekerjaan parbaringin dalam ritual-ritual dirangkap oleh pemimpin sekuler bius dan tidak bersifat tetap. Sesudah menjalankan ritual tokoh sekuler itu kembali ke status semula, tidak tetap sebagai pendeta. Hal ini wajar terjadi karena areal sawah tidak seluas di bius tua sehingga tidak melahirkan kelas/organisasi pendeta.
3. Bius kecil/terbelakang
Bius ini dijumpai dipinggiran wilayah Toba. Karena situasi setempat maka aparatnya tidak lengkap karena kepemimpinan kadang kala hanya dijalankan seorang saja/tinggal. Aparat pemerintahannya tidak memadai dan karena areal persawahannya sempit maka tidak memerlukan ritual-ritual pertanian serumit bius tua. Medannya hutan belukar dan berbatasan dengan dunia luar Toba sehingga mengharuskan adanya pemimpin tinggal untuk pengambilan keputusan yang cepat.
W.K.H Ypes, mantan residen Tapanuli peminat etnologi/antropologi adalah orang berjasa mendokumentasikan peta marga. Setelah meneliti marga-marga dan bius diseluruh Toba mengatakan terdapat 86 bius yaitu Silindung 4 bius, Humbang 19 bius, Toba Holbung 40 bius, Samosir 23 bius (Ada pendapat lain mengatakan jumlahnya mencapai 150 bius). Untuk jelasnya bagaimana peta wilayah bius dahulu kita ambil contoh pertama disebut Bius tempat asal Sitor Situmorang dimana ia berstatus marga boru, Bius Harianboho di Samosir Utara terdiri dari empat horja yaitu Horja (marga) Malau, Horja (marga) Limbong, Horja (marga) Sagala dan Horja (marga) Sihotang.
Contoh kedua kita ambil Bius dimana marga Simatupang sebagai marga raja (dengan cabang marga: Togatorop, Sianturi, Siburian) yaitu
• Bius Unte Mungkur di Muara terdiri dari Horja Unte Mungkur, Horja Sitio-tio dan Horja Sibuntuon (semuanya marga Sianturi) di Unte Mungkur Muara.
• Bius Onan Raja di Paranginan, Humbang, terdiri dari Horja Paranginan dan Horja Lumbanbarat (keduanya marga Siburian), Horja Togatorop dan Sisahorja (marga Togatorop dan Sianturi), Horja Lobutolong , Sisakae, Sisahorja dan Pea Arung (semuanya marga Sianturi).
Setelah pemerintah Belanda berkuasa di Tapanuli, maka huta, horja dan bius tradisional dirombak. Huta tetap disebut huta tetapi maknanya sudah lain. Raja huta atau Raja Ihutan (Jaihutan) tradisional diganti menjadi kepala negeri yang tunduk pada administrasi kolonial. Beberapa huta kecil digabung dengan seorang kepala yang sering menimbulkan masalah diantara sesama warga. Istilah bius yang mempunyai makna politik dilenyapkan dan diganti jadi huta biasa. Belanda menyadari bahwa disebagian wilayah Toba organisasi bius dan dewan bius adalah perpanjangan tangan Singamangaraja. Singamangaraja dan organisasi parbaringin terkait erat dengan bius.(ama ni pardomuan)
sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=70397578046&id=46335083162&index=0
sipeop na godang ndang marlobi-lobi, si peop na otik ndang hurangan.
BATAKPEDIA