Batakpedia.org -Tradisi perkawinan dalam adat Batak, khususnya Batak Toba, menganut hukum eksogami. Perkawinan eksogami adalah sebuah sistem perkawinan di luar kelompok suku tertentu, sebagaimana berlaku di banyak suku di Indonesia.
Artinya, orang Batak Toba tidak mengambil istri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto). Perempuan Batak Toba meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok atau marga suami, dan bersifat patrilineal.
Sistem perkawinan secara eksogami ini sudah berlangsung ratusan tahun sehingga sudah melekat dalam budaya Batak Toba hingga sekarang. Maka, tidak mengherankan, apabila masih ada ketakutan untuk melanggarnya.
Dengan demikian, hambatan untuk benar-benar mematahkan belenggu eksogami adalah rasa takut akan meledaknya roh para leluhur.
Rasa takut itu semakin meningkat oleh munculnya beberapa kasus, yaitu pelanggaran yang secara sengaja dilakukan oleh sejumlah pasangan yang kemudian berakibat buruk di tanah Batak.
Yang termasuk pelanggaran di sini, misalnya kawin dengan orang semarga atau kumpul kebo (hidup serumah tanpa ikatan perkawinan).
Pelanggaran dalam perkawinan memiliki konsekuensi hukum adat yang sangat berat, seperti perilaku pelanggaran yang sama tidak boleh diulangi lagi untuk beberapa generasi.
Ritus pelanggaran akan dilakukan dengan jalan seperti, gondang mangkuling, babiat tumale (gong bertalu-talu, harimau mengaum). Artinya, rakyat akan berkumpul untuk menangkap dan menghukum si pelaku.
Peribahasa yang digunakan untuk semua tindakan yang melanggar susila adalah: “Manuan bulu di lapang-lapang ni babi; Mamungka na so uhum, mambahen na so jadi.” (menanam bambu di tempat babi berlalu, tidak taat hukum dan menjalankan yang tabu).
Perkawinan yang dilakukan atas pelanggaran dinyatakan batal. Lelaki yang berbuat demikian, serta pihak parboru (perempuan) diwajibkan melakukan pertobatan (manopoti/pauli uhum) atau dinyatakan di luar hukum (dipaduru di ruar ni patik), dikucilkan dari kehidupan sosial sebagaimana yang ditentukan oleh adat.
Ritusnya adalah sebagai berikut: Pihak-pihak yang melanggar harus mempersembahkan jamuan yang terdiri dari daging dan nasi (manjuhuti mangindahani).
Daging biasanya berasal dari kerbau atu sapi yang disembelih. Penyembelihan kerbau atau sapi dipercaya dapat memperbaiki nama para kepala marga dan para ketua adat dari marga Batak Toba yang tercemar karena kejadian itu.
Daging sapi atau kerbau kemudian diolah menjadi makanan yang dihidangkan agar terjadi proses pentahiran (panagurasion) terhadap tanah dan penghuninya.
Dengan demikian, sangatlah berat hukuman adat yang harus dipikul atau ditanggung oleh pasangan laki-laki dan perempuan suku Batak Toba dalam tradisi perkawinannya.
Karena, bagi suku Batak Toba, perkawinan adalah sebuah ritus yang sangat sakral bagi laki-laki dan perempuan dalam menjalankan mahligai rumah tangga.
Sakralitas dan kehormatan dalam perkawinan suku Batak Toba ini dapat dimengerti mengingat posisi dan keberlangsungan marga menjadi nomor satu. Harga diri dan kehormatan orang Batak Toba terletak di situ.
Bahwasanya, meneruskan dan mengembangkan keturunan atau menciptakan generasi baru secara terus-menerus dalam kehidupan marga menjadi sebuah kehormatan yang tidak boleh dikesampingkan dalam bentuk apa pun dan dengan alasan yang bagaimana pun.
Karena itu pula, bagi orang Batak (semua suku Batak), apabila sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki, akan merasa belum pas. Bagi orang Batak, terutama laki-laki atau suami, akan terus berusaha agar memiliki anak laki-laki.