Batakpedia.org– Jika sedang membahas tentang suku batak pastilah tidak ada habisnya, dari tentang kebudayaannya, bahasa, partuturan adat yang mungkin berbeda-beda. Jika diartikel sebelumnya sudah pernah membahas tentang Suku Batak, maka kita dapat mengetahui bahwa Suku batak memiliki 7 subetnis, yaitu Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing, Angkola.
Mandailing adalah salah satu subetnis Suku Batak, atau bisa dikatakan termasuk rumpun suku Batak. Dahulunya di Sumatera Utara hanya ada suku Batak saja yang berdiam. Tapi kemudian, sebelum abad ke-18, masuklah kaum Paderi yang memerintah Minangkabau di Tanah Datar, tepatnya di daerah Natal dan Padang Lawas. Hasilnya, suku ini dipengaruhi oleh budaya Islam. Sejak itu budaya Minang dan agama Islam yang dibawa oleh kaum Paderi tersebut berbaur dengan budaya Batak setempat. Lantas kemudian menghasilkan subetnis baru, salah satunya adalah Mandailing. Suku ini juga tersebar di Malaysia, tepatnya di Selangor dan Perak. Suku ini juga memiliki keterkaitan dengan Suku Angkola.
Penjajahan Belanda di Sumatera menyebabkan Mandailing menjadi bagian dari Suku Batak, berdasarkan aturan irisan yang dibuat untuk mengklasifikasi dan membuat tipologi. Suku Mandailing memiliki keterkaitan dengan Suku Batak Toba, selain dari gaya bahasa yang digunakan hampir 100% sama hanya dialek pengucapan saja yang berbeda, bahkan partuturan pun hampir sama dengan suku batak toba. Akibatnya Suku Mandailing melebur menjadi satu yang dinamai Suku Batak Mandailing di Indonesia dan Suku Melayu Mandailing di Malaysia.
Suku Mandailing banyak ditemui di Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara. Yang pertama datang di wilayah tersebut adalah Pulungan dan Nasution.
Etnis Mandailing hanya mengenal sekitar belasan marga, antara ain Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang,Harahap,Hasibuan (Nasibuan), Rambe, Dalimunthe, Rangkuti (Ra Kuti), Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, Hutasuhut.
Sama dengan suku Batak lainnya, Marga juga sangat penting bangi Batak Mandailing. Saking pentingnya, pasti setiap berkenalan dengan orang baru sesama Batak biasanya mereka akan selalu menanyakan marga. Bagi orang Batak Haram hukumnya untuk menikah dengan satu marga atau satu silsilah. Karena itu di Batak ada tradisi Martarombo, yaitu semacam obrolan yang tujuannya untuk menelusuri asal muasal marga. Untuk mengetahui marga mana saja yang masih satu silsilah supaya tidak salah mengambil pasangan dalam menikah.
Masyarakat mandailing dikenal sebagai masyarakat yang memiliki sosial yang tinggi. Sebagai masyarakat mayoritas penganut agama islam suku ini memandang kekerabatan sesama saudara seiman sangatlah penting, Hal ini dapat dibuktikan dengan meninjau partisipasi masyarakat dalam menghadiri berbagai acara dan peristiwa yang terjadi di daerah pemukiman sukunya seperti menghadiri takjiah, mengadakan pengajian, menghadiri kemalangan(melayat), mengunjungi orang yang sedang sakit, dll. Tidak hanya dalam hal peristiwa dan keagamaan masyarakat ini juga cenderung saling tolong menolong dalam bercocok tanam, mereka biasanya ber gotong royong untuk memanen hasil ladang.
Sebutan Etnosentrisme sangatlah sesuai terhadap masyarakat suku mandailing. Etnosentrisme adalah sikap memiliki unsur-unsur bahwa kebudayaan lain dianggap asing, dengan kata lain mereka cenderung menganggap budayanya adalah budaya yang terbaik, pandangan ini sangat mempengaruhi masyarakat suku Mandailing bahkan mereka cenderung menganggap marga mereka yang paling dari marga lainnya, sebaliknya mereka menganggap seseorang dengan marga yang serupa akan dianggap sebagai saudara kandung atau sebagai orang yang baik dan terpercaya.
Sama dengan Batak lainnya, Hal ini pastilah semua suku menjunjung tinggi sikap sopan santun. Sikap sopan dan santun suku Batak Mandailing bisa dilihat ketika kita berjalan-jalan ke daerah pemukiman masyarakat suku Mandailing, kita akan menemukan beragam sapaan/tuturan yang digunakan masyarat seperti angkang, eda, tulang, dan banyak lagi. Bukan hanya itu jika kita salah seorang keturunan bermarga biasanya kita akan diajak mengenal silsilah keluarga, mereka menyebutnya martarombo. Hal itu bertujuan untuk mengetahui hubungan kekerabatan kita dengan orang yang bersangkutan, hal itu dikarenakan mereja sangat mempercayai dengan memelihara tutur sebagai jalinan persaudaraan yang merupakan kunci keharmonisan masyarakat.
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi semua orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu) atau sering disebut dalle sebagai bahasa sindiran. Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Masyarakat Batak memiliki falsafah, asas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Nah Batak Mandailing juga menganut asa Dalihan na Tolu yaitu;
Martondong Ningon Hormat, Sombah, Marsanina Ningon Pakkei, Manat, Marboru Ningon Elek, Pakkei.
Yang artinya sama dengan Dalihan na Tolu suku Batak lainnya, yaitu
- Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
- Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
- Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai ‘parhobas’ atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.Sedangkan salam khas nya adalah “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”Pada kenyataanya sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing sempat tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Meski mayoritas masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak, wacana identitas itu sempat muncul disebabkan karena pada umumnya kategori “Batak” dipandang primitif dan miskin oleh etnik lain masa Orde Baru. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),[30] dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
Dan akhirnya dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola termasuk subetnis Batak, atau etnis Batak.
Semoga artikel ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat menambah wawasan mengenai suku Batak, khusunya Batak Mandailing. Mohon maaf jika ada kesalah dalam penulisan nama, gelar dan lainnya. (hitabatak)