BRASTAGI, KOMPAS.com– Masyarakat Batak Karo, di Kabupaten Karo, Sumatera Utara kini memiliki sebuah museum yang mengkoleksi dan menyuguhkan sejarah peradaban masyarakat Karo.
Museum telah diresmikan Sabtu (9/2) lalu oleh Dirjen Kebudayaan berbasis Ekonomi Kreatif Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Aman Shah serta diberkati oleh Uskup Agung Medan Mgr Anicetus Sinaga.
Museum menempati gedung bekas Gereja Katolik St Maria di Jalan Perwira nomor 3, sekitar 50 meter dari Tugu Brastagi, Karo. Setelah peresmian museum, dilakukan pula peresmian rumah adat Karo Rumah Gugung Tirto Meciho di pelataran Gereja Katolik Inkulturasi St Fransiscus Asisi, Berastagi.
Rumah adat Karo yang memiliki empat tungku di dalamnya itu diambil dari Desa Dokan, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo atas sumbangan Lisa Tirto dari Yayasan Aqua, Jakarta.
Ketua Yayasan Museum Pusaka Karo Leo Joosten Ginting, OFM, Cap, mengatakan museum milik semua orang dan diisi oleh semua anggota masyarakat. Barang-barang yang disimpan di museum merupakan pemberian masyarakat.
“Tidak ada yang dibeli, semua diserahkan,” tutur Leo. Museum menyimpan koleksi berbagai barang yang umurnya puluhan hingga lebih dari seratus tahun seperti alat pertanian, alat memasak, alat makan, berbagai perlengkapan bersirih, baju, perhiasan, usi (ulos), miniatur rumah adat Karo, pustaka Laklak, dan berbagai gambar tentang peradaban Karo.
Namun demikian masih banyak barang yang tersimpan di berbagai tempat di luar negeri yang membutuhkan biaya untuk dipulangkan. Setelah upacara peresmian, diadakan penggalangan dana untuk mengembalikan barang-barang pusaka Karo yang masih berada di luar negeri.
Aman menyatakan, pihaknya menyambut baik terbangunnya museum ini. Ia berharap langkah yang sudah dilakukan masyarakat Karo untuk melestarikan kebudayaannya diikuti daerah untuk menciptakan hal kreatif berakar pada kebudayaan.
“Ini adalah langkah untuk membingkai Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia yang terdiri dari 17.500 pulau, 525 suku bangsa dan 250 bahasa daerah,” tutur Aman.
Tokoh nasional Cosmas Batubara yang hadir dalam acara itu mengingatkan akan pentingnya gotong royong yang merupakan nilai kemanusiaan warisan leluhur.
Ia mengkhawatirkan nilai-nilai itu akan hilang jika tidak diperlihara. Museum buka setiap hari, kecuali hari Rabu, pukul 08.00 hingga 16.30. Hari libur nasional dan hari Minggu, museum tetap buka.
Untuk sementara tidak ada tiket yang ditarik pada pengunjung namun ke depan, tiket akan dikenakan ke pengunjung.
sipeop na godang ndang marlobi-lobi, si peop na otik ndang hurangan.
BATAKPEDIA