Sikap pemerintah itu disampaikan lewat pernyataan bersama Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang dibacakan oleh pejabat Kemendagri, Widodo Sigit Pudjianto dalam sidang gugatan penghayat kepercayaan di Mahkamah Konstitusi, awal pekan ini.
Empat pemohon menggugat Pasal 61 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 64 Undang-undang Administrasi Kependudukan dengan alasan bahwa kewajiban mengosongkan kolom agama di KTP bagi penghayat kepercayaan dinilai diskriminatif.
Para pemohon itu adalah Nggay Mehang Tana dari penganut kepercayaan Marapu, Pagar Demanra Sirait dari kepercayaan Parmalim, Arnol Purba dari kepercayaan Ugomo Bangso Batak, dan Carlim pengikut Sapto Darmo.
Pemerintah, dalam pernyataan yang dibaca di sidang, mendukung pemohon yang meminta agar keyakinan mereka bisa ditulis di kolom agama pada KTP.
Dewi Kanti dari keyakinan Sunda Wiwitan, mengatakan, “Kami tidak melihat ini sebagai hanya persoalan sosialisasi kebijakan. Dalam produk undang-undang ini, di mana dalam pasal itu ada istilah ‘bagi agama yang belum diakui, itu dikosongkan tapi tetap dilayani’.
“Dengan pasal seperti itu, itu jelas diskriminatif. Ada pembedaan perlakuan. Yang menjadi persoalan adalah secara norma dalam undang-undang itu, yang seolah-olah melegitimasi istilah ‘agama yang belum diakui’.”
Kekosongan dalam kolom agama di KTP bagi penghayat kepercayaan juga, menurut Dewi, menyebabkan munculnya stigma yang kemudian punya dampak secara sosial.
“Ketika kolom agama kosong, kita mendapat kesulitan. Ada yang kesulitan mendapat pekerjaan karena dianggap tidak beragama. Di sekolah, misalnya, anak-anak yang sudah punya KTP, usia remaja, itu juga di-bully. Sebelum punya KTP saja anak-anak kita sudah di-bully di sekolah. Karena ada pemahaman yang seolah menjadi norma sosial bahwa di negara ini hanya ada enam agama,” kata Dewi Kanti.
Aktivis LSM Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP), Ahmad Nurcholish, juga sepakat, bahwa pernyataan pemerintah itu menjadi “suatu kemajuan”.
“Ini sebuah kepastian bagi hak warga negara, jadi mereka (penghayat kepercayaan) tidak lagi mengalami dilema,” kata Ahmad.
Dia mencatat bahwa selama ini, di beberapa daerah masih banyak penganut keyakinan yang belum bisa mencantumkan identitasnya sebagai penghayat kepercayaan.
Pada praktiknya, mereka mengosongkan atau memilih untuk menulis agama di antara agama utama. Ahmad mencontohkan seperti penganut kepercayaan Kaharingan di Palangkaraya yang biasanya ditulis sebagai Hindu atau Sunda Wiwitan sebagai Islam atau Kristen. “Itu tidak sesuai seperti yang sebenarnya,” kata Ahmad.
Sehingga pernyataan dua menteri itu dinilai Ahmad sebagai “penegasan lagi hak yang mendasar”. [BBC]