Batakpedia.org– Berbagai situs budaya dapat ditemukan di Desa Limbong, Kecamatan Sianjur Mulamula, Samosir. Khususnya di lereng Gunung Pusuk Buhit. Salah satunya adalah Batu Cawan.
Batu Cawan adalah sebentuk kolam batu dengan air terjun kecil yang mengalir di atasnya. Diyakini masyarakat Batak Toba, pemandian ini merupakan tempat si Raja Batak mandi. Keyakinan itu diakui budayawan Batak dari Desa Limbong, Ramses Limbong. Dikatakannya, kolam itu adalah tempat sakral bagi orang Batak.
“Banyak orang datang kemari. Ada yang berobat, ada yang mau berdoa. Macam-macam. Mereka percaya tempat ini bertuah,” jelasnya.
Ramses melanjutkan, mereka tidak hanya dari Sumatera Utara, tapi ada juga yang dari luar provinsi.
Para pengunjung yang datang ke sana tidak hanya meminum airnya, mereka juga menaruh sesajen berupa sirih, jeruk purut, telur ayam kampung, rokok dan pisang di sebuah meja altar putih yang ada di dekat pemandian itu. Salah satu rombongan mengaku berasal dari Siantar.
“Kami kemari mau berobat. Katanya air kolam ini bisa mengobati berbagai jenis penyakit,” kata Robin Saragih, salah seorang dari rombongan.
Disebut Batu Cawan, karena memang bentuknya mirip cawan (mangkuk). Letaknya persis di salah satu lereng gunung api sisa letusan Gunung Toba ini. Jaraknya 3 km dari pintu masuk Desa Limbong.
Untuk sampai ke sana, sedikitnya dibutuhkan waktu sekitar dua jam berjalan kaki. Rute yang dilewati pun cukup terjal karena jalanan yang berbatu dan menanjak. Barulah, kira-kira setengah perjalanan, akan dijumpai tangga-tangga pendakian hingga sampai ke Batu Cawan.
Kondisi air di Batu Cawan sendiri tampak jernih, mengkilat seperti ada minyak yang tumpah di atasnya. Dasar kolam kelihatan sangat jelas, berupa batu-batu. Cerukan terdalam dasar kolam kira-kira 1,5 meter dengan diameter sekitar 3 meter.
Ada tradisi yang unik ketika hendak meminum airnya. Seseorang harus langsung meminum tanpa menggunakan media bantu, seperti cangkir maupun tangan. Caranya langsung menundukkan kepala sampai mulut menyentuh permukaan air.
Setelah meminum airnya, barulah orang tersebut boleh mencuci muka, membasahi rambut atau membawa air itu untuk dibawa pulang. Posisi minum yang demikian tentu sangat berisiko. Karena posisi bibir kolam, tempat pengunjung harus berjongkok untuk minum, langsung berbatasan dengan jurang di bawahnya yang sedalam puluhan meter. Begitu mahalkah harga sebuah keyakinan? Jawabannya tentu tergantung pribadi masing-masing orang.
Air di Batu Cawan ini memang unik. Permukaannya berwarna hijau kekuningan serta tampak berminyak. Tetapi ketika diambil, sama sekali tidak ada minyak di atas air itu. Rasanya pun masam persis air perasan jeruk purut. Padahal tidak ada sebiji pun juruk purut di kolam itu. Airnya bersumber dari air terjun kecil yang berasal dari himpitan tebing batu setinggi kira-kira 6 meter.
Di atas tebing itu tampak tumbuh-tumbuhan perdu dan beberapa pohon besar. Jadilah pemandian ini seperti telaga, layaknya tempat dewa-dewi mandi, seperti yang sering kita baca dalam dongeng-dongeng.
Meski berupa cerukan, air ini selalu berganti, karena ia mengalir ke jurang di bawahnya. Nah, air yang mengalir ke jurang itulah yang boleh dimandikan pengunjung. Apalagi di tempat itu sudah dibangun pula bak-bak pemandian lengkap dengan ruang ganti dan toilet. Di sekitar itulah pula ditemukan banyak sekali juruk purut yang memenuhi sepanjang aliran air.
Berminyak dan Berasa Masam
Seperti disinggung di atas, permukaan air pemandian itu tampak mengkilap seperti bercampur minyak. Rasanya juga masam, seperti air perasan jeruk purut. Padahal tidak ada sama sekali potongan jeruk purut di dalam kolam. Dan mengingat pengunjung tidak boleh memasukkan sesuatu ke dalam air. Bahkan untuk meminumnya harus langsung dari mulut, tidak boleh menggunakan media seperti cangkir. Sedangkan mereka yang ingin mandi di sana hanya diperbolehkan sebatas membasuh wajah dan rambutnya.
Permukaan air yang mengkilap dan rasanya yang masam itulah yang menjadikan situs ini berbeda dari sumber-sumber mata air lain yang dalam masyarakat Batak Toba, kerap memiliki nilai-nilai tertentu.
Namun dari sisi geologis, Ketua Ikatan Ahli Geologi (IAGI) Sumatera Utara, Gagarin Sembiring punya pendapat tersendiri. Menurutnya, hal itu bisa disebabkan karena kandungan mineral yang ada pada batu. Selain itu juga bisa dari zat-zat yang tercampur di dalam air sebelum air itu jatuh ke kolam pemandian.
“Keunikan itu patut dikaji secara geologis. Mungkin ada kaitannya dengan letusan Gunung Toba beberapa puluh ribu tahun silam,” kata Gagarin penasaran.
“Masih banyak jejak geologis yang belum diteliti dari sisa letusan Gunung Toba, inilah yang harus terus kita ungkap, tanpa harus mengabaikan apalagi menciderai nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya,” ujarnya. (hitabatak)