Batakpedia.org -Sejak semula, saya bersama Sebastian Hutabarat dalam kasus penganiayaan yg dialaminya oleh pelaku galian C di kampung Silimalombu, Onanrunggu, Samosir bagian selatan. Tetapi, begitulah realitas penegakan hukum di negara ini, belum bisa diharap berlaku fair dan adil.
Sebastian dan satu kawannya (Joe Marbun) jelas korban penganiayaan pengusaha galian C di Samosir bagian selatan itu dan ia laporkan ke Polres Samosir berikut bukti visum.
Tetapi kemudian arus berbalik, pelaku penganiayaan kemudian mengadukan Sebastian ke
Polres yg sama dng tuduhan penistaan/pencemaran nama baik.
Persidangan yg melelahkan di dua lokasi, yakni di PN Pangururan dan PN Balige (16 kali), majelis hakim yg menangani perkara kemudian memvonis Sebastian bersalah. Dia dihukum masuk kurungan satu bulan.
Kemarin, dia dieksekusi tim jaksa (Kejatisumut), diborgol segala, dibawa ke LP Pangururan, bagaikan pelaku kriminalitas berat.
See?
Kaget?
Pers sekelas Liputan 6 pun menulis judul berita yg tendensius, Sebastian disebut “buronan yang menyamar jadi penjual pizza”.
Sebastian itu pengusaha di Balige, ibukota Kab. Toba. Alumnus FT Sipil Unpar Bandung ini anaknya orang kaya lama di Balige. Ayahnya pengusaha pompa bensin, juga mereka punya hotel dan Sebastian membuka usaha sendiri, Toba Art. (Dia fotografer pro).
Artinya, dia bukan man on the street, namun berasal dari kàlangan terpandang. Anakni namora, kata orang Batak. Eh…pewarta Liputan 6 di Sumut menulis “menyamar jadi penjual pizza.” Satu contoh jurnalisme yg buruk. Kampungan. Tak berbobot. Tanpa mengecek siapa tokoh atau objek berita. Memalukan!
Komentar warganet (orang Batak) menyikapi postingan teman-teman maya Sebastian pun banyak pula yg norak, bodoh, miskin sense of justice.
Bagi mereka seolah tak penting orang atau komunitas yg mau peduli lingkungan, pokoknya salah karena masuk ke area usaha orang lain–dan justru keabsahan usaha galian yg membahayakan ekosistem alam itulah yg ditanyakan Sebastian dan Joe. Dasar manusia-manusia kardus, tak berpikir bahwa yg dilakukan Sebastian dan Joe Marbun (temannya di YPDT yg peduli lingkungan kawasan Danau Toba, juga ikut korban pemukulan) untuk melindungi alam kawasan Danau Toba.
Bila pun Sebastian dan Joe dianggap tak berwenang menanyakan izin usaha, hukum pidana (KUHP) menghukum pelaku penganiayaan, apa pun dalihnya! Hukum tidak membolehkan perbuatan aniaya, siapa pun korbannya.
Begitu cara pikirnya ya, orang-orang bodok! Jangan asbun. Memalukan!
Oya, pelaku penganiayaan itu masih terbilang kerabat saya. Tetapi saya berupaya objektif dan fair. Saya ikut mengecam pelakunya! Tak penting bagi saya manusia arogan dan perusak alam, meski dia saudara atau kerabat.
Sebagai tambahan, saya tak selalu sepandangan dng Sebastian dalam berbagai hal–termasuk kritiknya ke pelaksanaan adat dan bila menyampaikan narasi atas buruknya kondisi dan layanan wisata Danau Toba.
Tetapi saya bisa memisahkan urusan keadilan dan kepedulian.
Sebastian dan Joe Marbun jelas korban penganiayaan karena kepedulian ke alam, malah dia yg dijebloskan tiga institusi penegak hukum ke penjara.
Absurd? Tak adil?
Sadarlah realitas penegakan hukum di negara ini memang sering tak terpahami, bahkan oleh praktisi hukum.
Maka, marilah membuka mata, jangan dipikir tak banyak masalah. Sejak Orde Baru hingga rezim Presiden Jokowi (Jangan lantas baper kalian pendukung Jokowi, tak lebih Jokowi kalian dibanding saya. Harus diakui belum berhasil rezimnya mengubah penegakan hukum di negeri ini sebagaimana laiknya ‘negara hukum’).
Hukuman Sebastian hanya sebulan kurungan badan. Kecil. Tak susah itu dia lalui, apalagi di LP Pangururan yg terkenal beradab (LP ini hanya sepelemparan batu jaraknya dari rumah orangtua saya).
Tetapi sadarilah, dirimu, anakmu, sanak saudaramu, saya, siapa pun, bisa mengalami sebagaimana dialami Sebastian. Karena itulah perlu ikut peduli, jangan cuek atau ignorant, kritis menilai pengurusan negara dan penegakan hukum agar semua pejabat tinggi dan aparat penegak hukum tidak semena-mena–melainkan bekerja demi hukum dan keadilan belaka, yg berlaku imparsial, tidak pilih-pilih orang.
Jadi, pembelaan saya pada Sebastian dan siapa pun yg mengalami ketidakadilan atau unfairness, sebagai bentuk kepedulian penegakan hukum yg just and fair belaka.
Saya tak akan ikut meminta Presiden Jokowi agar membebaskan Sebastian dari kurungan sebulanan. Biarlah beliau (Jokowi) semakin paham betapa masih karut-marut penegakan hukum di negara ini dan DPR tak juga tergerak mengubah KUHAP (Kitab Hukum Acara Pidana) dan KUHP karena dua kitab hukum yg amat vital ini pun mengandung banyak kelemahan yg berbahaya bagi warganegara.
Kuatlah kiranya Lae Sebastian, tetaplah sayang alam. Tulus, karena sepatutnya kita peduli alam sebagai ciri penting manusia beradab.***