Batakpedia.org- Keberhasilan pengembangan Geopark Kaldera Toba (GKT) ialah salah satu kata kunci go international.
Kebijakan Pemerintah Jokowi menempatkan destinasi ini sebagai salah satu destinasi prioritas ialah supaya pariwisata Danau Toba segera naik ke kelas internasional. Harapannya ialah danau yang terkenal sebagai kaldera quarter terbesar kedua di dunia setelah Danau Victoria di Afrika itu, berhasil menjadi anggota UNESCO Global Geopark sekaligus juga ditetapkan sebagai situs geologis Warisan Dunia. Saat ini di Indonesia barulah Batur, Gunung Sewu, Ciletuh – Pelabuhan Ratu, dan Rinjani yang telah masuk daftar UNESCO Global Geopark.
Danau Toba memiliki luas 1.124 km2 dan merupakan danau terbesar di Asia Tengara. Danau yang memiliki kedalaman hingga 500 meter ini terbentuk oleh tiga kali letusan gunung berapi supervolcano. 900.000 tahun lalu, 500.000 tahun lalu, dan 75.000 tahun lalu. Pulau Samosir di tengah Danau Toba dan Semenanjung Parapat terjadi sebagai akibat pengangkatan kerak bumi saat terjadi letusan maha dahsyat itu.
Hilangnya magma yang sangat besar membuat keruncut vulkanik itu runtuh dan kemudian membentuk cekungan sangat besar. Maka terciptalah sebuah danau purba yang kini populer dinamai Danau Toba.
Konon, dampak letusan supervolcano itu hampir memusnakah spesies homo sapiens. Erupsi ini dinyatakan sebagai erupsi gunung berapi terdahsyat di bumi yang pernah diketahui. Debu yang disemburkan pada erupsi ini menyebar ke seluruh bumi. Bumi bertahun-tahun diliputi debu membawa perubahan iklim global yang signifikan. Erupsi ini dinyatakan jadi penyebab dimulainya zaman es.
Danau Toba menawarkan geowisata dan panorama alam yang beragam dan sarat dengan diskursus geologis. Kawasan itu memiliki 45 Geo-Situs yang tersebar dalam 4 Geo-Area. Yaitu, Kaldera Porsea, Kaldera Haranggaol, Kaldera Sibandang, dan Kaldera Samosir.
Bukan hanya itu, kekayaan hayati di sana baik flora dan fauna menarik dilihat. Dari dunia flora misalnya ada Anggrek Tien Soeharto, Bunga Bangkai, Kanton Semar, dan sebagainya. Sedangkan dari dunia fauna tercatat Beo Nias, Urang Utan, Monyet Kedih, Gajah Sumatra, dan Hariamu Sumatra.
Ulos dan Mangulosi
Selain geowisata serta keragaman hayati, Danau Toba sebenarnya juga menawarkan kekayaan wisata budaya yang unik. Utamanya ialah perihal budaya Batak Toba sebagai indegenouse people atau di Indonesia populer dengan sebutan ‘komunitas masyarakat adat’. Di sana bukan hanya tergambar keragaman adat istiadat dan tradisi beserta situs-situs sejarahnya, lebih dari itu.
Panorama kebudayaan Batak Toba menawarkan pembelajaran local knowledge dan local wisdom yang bakalan menarik perhatian para etnograf dan pemerhati budaya lokal maupun manca. Di sana hidup sebuah agama lokal. Lazim disebut “Ugamo Malim” atau Agama Malin.
Namun kemudian, itu lebih populer dan lazim disebut “Parmalin.” Keberadaan agama lokal ini mengingatkan kita pada nalar sinkretisme khas masyarakat Nusantara. Fenomena Parmalin mirip fenomena Kejawen dalam budaya masyarakat Jawa atau Sunda Wiwitan dalam masyarakat Sunda. Juga tak jauh beda dengan orang Jawa atau Sunda, orang Batak Toba sedari dulu dikenal sangat setia pada ritus adat budayanya.
Seperti Kejawen atau Sunda Wiwitan, tentu saja Parmalin juga menyimpan banyak khasanah mitologis. Bukan hanya perihal narasi legenda terciptanya Danau Toba dan Pulau Samosir, yang dalam kisah itu juga terkandung mitos penciptaan umat manusia yang konon turun ke bumi pertamakali di Pusuk Buhit, melainkan lebih jauh tentang hal-ikwal mitos Ulos dan Mangulosi, tak terkecuali.
Tulisan ini dimaksudkan sebatas menggambarkan tradisi Ulos dan Mangulosi. Sebuah tradisi yang masih sangat lekat dalam budaya Batak Toba. Bahkan hingga kini seakan-akan juga masih menemukan bentuk keasliannya dalam komunitas masyarakat adat di Pulau Samosir sana.
Ulos, sebuah kain tradisional hasil kerajinan tenun khas Sumatra Utara. Masyarakat sana memang dikenal memiliki hubungan sangat erat dengan Ulos. Namun demikian pada subetnis Batak Toba-lah, Ulos sebenarnya selalu lekat digunakan pada berbagai pesta dan ritual adat. Kelompok subetnis ini sendiri sebenarnya terbagi menjadi enam kelompok besar, yaitu Toba, Pakpak, Mandailing, Simalungun, Angkola, dan Karo. Namun semua subetnis Batak ini sering digeneralisasi secara common sense dengan sebutan yang sama, Batak Toba.
Secara harafiah, Ulos sendiri berarti selimut. Berfungsi menghangatkan dan melindungi tubuh pemakainya dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur Batak Toba, ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api, dan Ulos. Dari ketiga sumber itu, Ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Sedangkan Mangulosi atau dalam bahasa Indonesia berarti “memberikan Ulos.” Yang berarti memberikan selimut, restu atau doa pada “tondi” atau si-roh penerima Ulos. Ulos dan Mangulosi, ibarat satu tarikan-hembusan nafas.
Bagi masyarakat Batak Tuba, Ulos bukan semata produk seni tradisi, tetapi juga piranti utama ritual adat. Diwariskan secara turun temurun, Ulos menjadi salah satu simbol hubungan kekerabatan yang ditunjukan dalam setiap upacara adat. Dari ritual inisiasi kedewasaan, kematian, tujuh bulanan, atau bahkan sekadar upacara pindah rumah sekalipun. Singkat kata, baik dalam suka maupun duka Ulos selalu hadir “memaknai.”
Sudah tentu Ulos sendiri memiliki keragaman motif. Nama Ulos akan diambil dari jenis motif yang ada, cara tenunnya, corak yang mendominasi dan tujuan pemberiannya. Masing-masing ragam itu memiliki fungsi sebagai alat komunikasi simbolik dengan nilai-nilai atau makna yang berbeda. Nilai-nilai atau makna masing-masing motif Ulos tersebut secara intersubyektif telah dipahami oleh sesama komunitas masyarakat adat.
Sedang ritual Mangulosi tentu mengandaikan ketentuan adat. Antara lain, seseorang hanya boleh Mangulosi si-tondi yang menurut silsilah keturunan berada di posisi bawah. Misalnya, orang tua Mangulosi anaknya, tapi sebaliknya tidak boleh. Terkait motif Ulos yang akan diberikan pun harus selaras ketentuan adat. Bagaimanapun, setiap Ulos memiliki nilai-nilai atau makna tersendiri, sehingga kapan motif Ulos itu digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang mana, semua itu harus sesuai ketentuan adat.
Menariknya dicatat di sini. Seluruh struktur mitos perihal Ulos dibangun dengan berpijak pada narasi dan posisi kaum perempuan. Dari narasi mitos atau folklore itu nampak jelas, bahwa menenun Ulos secara gender selalu identik sebagai pekerjaan perempuan. Profesi ini disebut “partonum.” Keahlian ini diawariskan turun-temurun dan telah membentuk tradisi panjang bagi kebudayaan masyarakat Batak Toba. Konon, tradisi ini telah melintasi deretan panjang antar generasi, sejak periode antah berantah. Ulos dengan demikian diyakini sebagai warisan nenek moyang masyarakat Batak Toba sejak zaman purba.
Terkait prosesi Mangulosi, di sini penting disebutkan tradisi lisan yang bernama “umpasa.” Digubah secara berbait, bersajak, dan berirama. Umpasa itu bisa jadi berisi pemahaman tentang falsafah hidup, nilai-nilai, etik kesopanan, dan bahkan undang-undang adat. Namun demikian lazimnya umpasa berisi restu, curahan kasih sayang, doa atau permohonan, harapan serta kebaikan-kebaikan lainnya. Isinya bisa berupa doa hagabeon (kebahagiaan), hamoraon (kekayaan), hasangapon (dihormati), saur matua (panjang umur dan sejahtera), dsbnya. Umpasa ini dibacakan saat prosesi Mangulosi berlangsung. Saat Ulos diberikan kepada si-tondi, umpasa itu sekaligus dibaca dan dimantramkan berulang oleh pemberi.
Sebelum masuknya Kristen dan menjadi agama mayoritas di sana, Ulos adalah benda yang diyakini diresapi oleh suatu kualitas “magis” yang bersifat illahiah. Oleh karena itu, tentu saja banyak tabu yang tidak boleh diabaikan saat proses penenunan. Panjangnya harus tertentu, jika tidak dapat mambawa kesialan atau kehancuran dan bahkan maut bagi tondi atau roh si-penerima Ulos.
Akan tetapi, jika Ulos dibuat sesuai aturan adat istiadat, maka Ulos dapat dijadikan sebagai pembimbing kehidupan si-tondi. Pasalnya Ulos telah diberkati oleh kekuatan illahiah sehingga memiliki fungsi magis. Bicara fungsi magis ini tentu mengingatkan pada fungsi Keris (tosan aji) sebagai “pusaka” bagi orang Jawa penghayat Kejawen dan orang Sunda penghayat Sunda Wiwitan. Juga tak jauh beda dengan fungsi rajah sebagai ”azimat” yang biasa dijumpai dalam komunitas pengikut tarekat Islam tradisional.
Sekalipun sebenarnya tidak pernah ada catatan dari sumber masa lalu perihal sejarah keberadaan Ulos, sekali lagi, hal ini tidak berarti serta merta membuat posisi Ulos menjadi nir-makna. Sebaliknya Ulos justru dianggap sebagai benda sakral dan simbol restu. Juga sekaligus benda pemberian (gift) sebagai tanda kasih sayang dan persatuan antar sesama. Makna ini setidaknya tercermin dari petatah-petitih masyarakat Batak Toba: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong.” Artinya jika ijuk ialah pengikat pelepah pada batangnya, maka Ulos ialah pengikat kasih sayang antara sesama.
Begitu berakarnya tradisi Ulos dan Mangulosi ini tercermin pada fungsi Ulos sebagai struktur simbolik dan pemberi makna yang masih terpatri kuat. Tak berlebihan sekiranya sering dikatakan juga, Ulos ialah salah satu struktur penting pembentuk identitas kebudayaan masyarakat Batak Toba.
Ulos kini telah ditetapkan sebagai National Intangible Cultural Heritage. Tercatat dengan nomor register 0010000708. Berupaya bergerak lebih maju, Propinsi Sumatera Utara khususnya Pemerintah Kabupaten Simalungun, melalui Pemerintah Pusat bermaksud mendaftarkan Ulos sebagai World Intangible Cultural Heritage ke UNESCO.
Semoga saja nantinya seluruh upaya Indonesia mendorong situs geologis Danau Toba masuk UNESCO Global Geopark dan Ulos sebagai World Intangible Cultural Heritage berbuah hasil menciptakan destinasi pariwisata Danau Toba go international. Bukan saja berhasil menawarkan sebuah konsep pariwisata berparadigma holistik—yaitu wisata alam, wisata sejarah dan wisata budaya sebagai satu kesatuan terintegrasi—melainkan juga sanggup mengelola secara profesional sebagai sebuah destinasi pariwisata “Bali Baru”. (indonesia.go.id)