Batakpedia.org– Leluhur dalam kajian Antropologi Budaya adalah identik dengan nenek moyang. Secara umum dapat dimaknai sebagai kerabat (kin) yang berada pada struktur garis keturunan di atas seseorang (ego) baik pada masyarakat dengan pola patrilineal maupun matrilineal.
Namun dalam keseharian kita leluhur atau nenek moyang lebih dimaksudkan kepada orang-orang dari garis keturunan linier di atas ayah-ibunya, dan kesannya jauh sebelum dia bahkan mungkin tertuju kepada mereka yang telah meninggal.
Penelusuran terhadap mata rantai leluhur adalah seperti piramida yang semakin ke atas semakin mengerucut, karena setiap kelompok kekerabatan yang ada sekarang akan bertemu dalam satu garis keturunan dan begitu seterusnya hingga akan berakhir pada satu tokoh legenda personal yang diyakini sebagai asal usul mereka. Sedang figur tersebut bisa saja berasal dari dunia lain seperti titisan dewa.
Menarik garis keturunan ke atas (leluhur) menjadi sangat penting bagi setiap anggota kelompok untuk berbagai tujuan, antara lain menyusun kembali hubungan historis antara orang-orang dalam berspekulasi untuk menelusuri asal usul pranata sosial (Herskovits, 1952).
Seorang yang mengetahui garis keturunannya akan mempunyai kepercayaan diri dalam keberlangsungan hidupnya dan meneruskan generasi berikutnya. Setiap manusia pada dasarnya adalah mempunyai asal-usul (We are not dropped into the world without history), namun sebagian tidak mengetahuinya, atau hanya pada tingkat tertentu saja.
Arwah Leluhur
Pada masyarakat tradisional kepercayaan terhadap leluhur merupakan bagian penting dari sistem kebudayaannya, bahkan karakter nenek moyang selalu dijadikan identitas hidup, senjata primordial untuk menentukan status dalam komunitasnya. Sebab figur-figur dari tokoh yang ada dalam silsilahnya diyakini mempunyai ciri khas tersendiri baik secara fisik dan spritual, mempunyai keahlian khusus dibanding clan lain.
Misalnya dalam hal keberanian, keperkasaan, magic dll. Yang terpenting bahwa mitos tentang asal mula hadirnya nenek moyang ke dunia ini selalu punya kisah unik tersendiri.
Sebagai contoh Raja Batak dipercaya berasal dari banua ginjang yang turun ke dunia ini, tepatnya di Pusuk Buhit Pulau Samosir. Guru Patimpus (Tukang sikat dan dibungkus dengan kain, disandang di bahu) yang merupakan pendiri kota Medan adalah cucu Raja Sisingamangaraja I, putra dari Tuan Siraja Hita Sinambela yang mempunyai keahlian di bidang pengobatan, kekebalan, silat, mahir berbahasa orang lain (Malau, 2000).
Keyakinan-keyakinan seperti itu tampaknya tidak hanya trade mark masyarakat tradisional. Dalam masyarakat modern sekalipun mitos itu masih tetap lestari, dituturkan di hadapan kita.
Yang menarik untuk diperhatikan baik pada masyarakat sederhana yang bersahaja atau kita masyarakat modern yang hidup dalam era globalisasi sekarang ialah, bahwa keunikan, karakter dan sifat leluhur itu terkadang dipercaya bisa turun berupa warisan spritual kemudian dapat dimiliki oleh orang-orang tertentu. Pelestarian melalui budaya oral atau tulisan mengenai watak nenek moyang itu membuat seolah mereka masih “hidup” di dunia ini.
Setidaknya arwah leluhur itu masih mempengaruhi jiwa bahkan mempunyai peran dalam kehidupan kita. Sifat-sifat mereka dititiskan, pantangan (Taboo) mereka juga menjadi larangan untuk keturunannya. Misalnya hubungan marga Lontung yang “bersahabat’ dengan Harimau, sehingga apabila mereka berada di hutan tidak akan diganggu oleh binatang buas tersebut. Kisah ini berawal dari masa kecilnya bersama ibu, Boru Pareme yang ditemani Harimau karena ditinggal ayahnya, Sariburaja.
Karena itu hampir dapat dipastikan bahwa setiap kelompok etnik memiliki pranata tersendiri tentang siklus hidup yang dilalui manusia, salah satu bagiannya adalah mengenai leluhur yang tercakup dalam upacara kematian, penguburan, dan penghormatan selanjutnya terhadap arwah kerabat atau nenek moyang.
Menghormati leluhur adalah sebagai jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang. Hanya saja bentuknya berbeda-beda sesuai dengan kultur, geografis, mata pencaharian dan sistem religi yang mereka anut.
Upacara Kematian
Sebagai ilustrasi kita dapat melihat bagaimana etnik Batak Toba dalam menghormati leluhurnya sejak prosesi kematian hingga pasca penguburan. Dan sebagai komparasinya adalah varian terdekatnya yaitu Mandailing. Kematian adalah gerbang menuju alam spritual yang akan dilalui manusia.
Sebelum kedatangan agama, lepasnya roh dari badan tersebut menurut keyakinan mereka disebabkan oleh dewa/Mula Jadi Nabolon yaitu sumber segala kekuatan dan kuasa pencipta langit dan bumi, atau karena kekuasaan begu/hantu yang banyak mengitari manusia. Untuk menghindari atau meredamnya cara pengobatan penyakit atau prosesi kematian biasanya dilakukan dengan berbagai upacara sesuai dengan klasifikasi orang yang meninggal.
Pada masyarakat Toba dikenal 8 tingkat kematian. Dari yang terendah: Pertama, Mate Tarposo (Mati dalam kandungan atau saat masih bayi). Kedua, Mate Poso (Mati kanak-kanak dan sebelum kawin). Ketiga, Mate Pupur (Mati tua tanpa pernah kawin). Keempat, Mate Punu (Mati sesudah kawin, tidak punya anak).
Kelima, Mate Mangkar (Mati setelah ada anak yang kawin, tetapi belum punya cucu). Keenam, Mate Sarimatua (Mati sudah punya cucu, tetapi masih ada anaknya yang belum kawin). Ketujuh, Mate Saurmatua (Mati setelah semua anak kawin dan mempunyai cucu). Kedelapan, Mate Mauli Bulung (Mati setelah cucunya sudah punya cucu lagi dan status sosialnya baik serta tak ada seorang pun dari keturunannya meninggal mendahuluinya).
Mulai dari Mate Tarposo hingga Mate Punu dapat dikatakan tidak dilakukan acara adat yang berarti, karena hal itu dianggap belum lengkap kehidupan seseorang. Acara adat dilakukan dan akan semakin besar serta memakan waktu lama dimulai dari jenis Mate Mangkar hingga kepada Mate Mauli Bulung.
Prosesi yang masih dapat disaksikan hingga saat ini ialah Pertama : Upacara kematian; setiap anggota kerabat yang meninggal sangat dihormati apalagi setelah berada di posisi Sarimatua, Saumatua dan Mauli Bulung.
Pada tahap ini melepas mayat dilakukan dengan pesta besar, berhari-hari, lantunan musik dan lagu-lagu gembira, karena hidupnya telah dianggap sempurna. Secara umum mereka meyakini orang yang berpindah dari alam dunia menuju alam arwah, mesti dilepas dengan penuh kasih sebagai ungkapan penghormatan terakhir.
Diantarkan dengan berbagai ritus dan kompenen adat Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu, Boru) bahkan sihal-sihal maupun aparat pemerintah setempat.
Dengan demikian kematian walaupun merupakan hal yang menyedihkan namun tidak semuanya menjadi duka. Lain halnya dengan Batak Angkola, Mandailing yang menganggap bahwa setiap kematian adalah duka mendalam (Siluluton).
Tradisi yang berlaku dalam prosesi kematian dan pelepasan jenazah telah didominasi upacara keagamaan ketimbang adat, mayat hanya disemayamkan paling lama 1 hari setelah wafat, selanjutnya harus dikebumikan. Mereka tidak memandang tingkatan kematian, melainkan kehadiran anggota keluarga.
Kedua, penghormatan terhadap seorang leluhur yang berada di alam baka dapat kita lihat melalui bentuk kuburan yang ada. Bagi orang Batak Toba, kuburan terdiri dari tiga jenis yaitu 1. Kuburan umum tempat pemakaman satu kampung (Huta). 2. Tambak berupa tanah yang ditinggikan di atas kuburan seorang yang mati dalam peringkat Sarimatua/Saurmatua. Tanah yang ditinggikan tersebut terdapat rumput manis, diletakkan secara terbalik, bertingkat tiga, lima, tujuh (Simanjuntak, 2000).
Di atas tanah yang ditinggikan itu ditanam pohon Hariara/Beringin atau Bintatar sebagai pertanda. Dengan berbagai variasi yang berkembang kemudian, Tambak digunakan sebagai kuburan/pusara bagi keluarga atau marga dan biasanya dibangun di kampung asal. 3. Tugu sebagai monumen, pembangunannya berkembang secara besar-besaran setelah Tugu Raja Sisingamangaraja XII dibuat. Tugu biasanya dibangun untuk persatuan marga di bona pasogit (kampung asal) dan di dalamnya terdapat tulang belulang leluhur.
Misi Budaya
Mungkin bagi sebagian orang yang melewati daerah Toba (Tobasa, Taput, Humbang Hasundutan, Dairi dan daerah lainnya) akan bertanya setidaknya dalam hati, kenapa di daerah ini banyak dijumpai tugu?
Kemudian dibangun dengan megah dan aneka ragam ornamen? Tambak atau tugu adalah penuh dengan simbol dan pesan yang sudah berakar dari tradisi nenek moyangnya. Menurut Geertz (1973) merumuskan kebudayaan sebagai sistem nilai dalam bentuk simbol yang diwariskan secara historis, yang dinyatakan dalam bentuk perlambang, lewat mana manusia berkomunikasi, meneruskan dan mengembangkan pengetahuan tentang sikap atas kehidupan. Membuat simbol adalah ciri manusia yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan.
Melalui simbol tersebut seorang individu dapat berkomunikasi dengan yang lain (Baal, 1976)
Masyarakat Toba percaya bahwa tingkat perawatan dilakukan keturunan terhadap kerabat yang sudah meninggal sangat mempengaruhi keadaan rohnya di alam selanjutnya.
Di samping itu memelihara peninggalannya akan memperoleh Sahala (kekuatan) yang diyakini mampu diberikan orang yang telah tiada kepada orang yang masih hidup, apalagi Sahala dari orang yang berada di posisi Sarimatua/Saurmatua.
Karena itu pembangunan Tambak atau tugu dimaksudkan untuk mengagungkan nenek moyang agar arwahnya senang. Walaupun Agama Kristen telah dominan di daerah ini namun kelihatannya tidak mampu meretas kuatnya tradisi yang berasal dari masa megalit ini.
Bahkan pembangunan tugu sekarang malah disesuaikan dengan perkembangan gaya arsitektur, menampilkan benda-benda yang dimiliki Sang Leluhur di samping patung yang dibuat.
Pembangunan sebuah Tambak dan tugu dipenuhi tatacara sesuai aturan kosmologi mereka. Misalnya membuat Tugu harus dengan suatu pesta adat – sesuai nilai-nilai Dalihan Na Tolu yang harus dihadiri seluruh Pomparan (keturunan) mempunyai aturan dalam memasukkan dan meletakkan tulang belulang ke dalam tugu.
Selanjutnya posisi tugu juga harus diatur sedemikian rupa. Misalnya dibangun di tempat tinggi, menghadap jalan raya, menghadap Matahari terbit, dan lain-lain. Sistem ini disamping untuk manfaat religius juga berdampak bagi kerabat yang masih hidup.
Sesuai misi budaya Batak yaitu Hamoraon, Hagabeon, Hasangapan (kekayaan, keturunan, kehormatan), maka Tambak dan Tugu adalah simbol status sosial dalam mencapai tujuan bersama. Semakin megah sebuah tugu berarti juga pomparannya adalah orang yang sukses, kaya dan terhormat.
Sedemikian pentingnya misi budaya tersebut terlihat dari kenyataan bahwa mayoritas migran Batak Toba yang meninggal di perantauan akan dibawa dan dikebumikan di bona pasogit.
Lain halnya masyarakat Angkola Mandailing, meski masih berpegang pada sistem adat Dalihan Na Tolu, juga mempunyai misi budaya Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon, namun terkait dengan perawatan terhadap “leluhur” sepertinya kontradiktif dengan Toba, sebab telah bermetamorfosa akibat pengaruh Islam sebagai agama dominan di daerah ini.
Pelepasan jenazah seperti yang disebutkan di atas telah mengalami proses penyederhanaan. Kendati kuburan keluarga masih bisa dijumpai, namun pemaikaian istilah Tambak apalagi Tugu hampir tidak dijumpai lagi, dan bagaimanapun bentuknya, tempat pemakaman itu tetap menggunakan istilah kuburan/pusara.
Hal lain yang bisa dilihat adalah adanya perubahan dalam memelihara hubungan dengan orang yang meninggal. Mereka tetap percaya bahwa nenek moyang mempunyai sahala dan bisa digapai mereka yang masih hidup dengan cara menghormatinya.
Hanya saja bentuknya tidak membangun tugu, tetapi melalui kiriman doa dari tempatnya berdomisili, membersihkan, merenovasi kuburan, sering berziarah atau bernazar bahkan melakukan “ritus” tertentu di atasnya. (netralnews)